Campur Kode di Televisi dan Nasionalisme dalam Berbahasa

No Comments


oleh: Syahdan Husein


Bahasa merupakan cerminan dari suatu budaya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan Indonesia adalah tugas pemerintah yaitu Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud untuk menjaga, merawat dan memartabatkan Bahasa Indonesa sesuai dengan amanat UU. Selain itu, Bahasa Indonesia wajib digunakan di ruang publik. Televisi merupakan ruang publik. Sudah semestinya pemerintah perlu memerhatikan pola berbahasa di televisi sebab televisi memiliki pengaruh kuat dan membentuk wacana yang masuk ke rumah-rumah untuk menggoyah kebudayaan kita terutama dalam berbahasa Indonesia. Tulisan ini merupakan olahan dari penelitian saya yang berjudul “Breakout NET TV: Analisis Tindak Bahasa Campur Kode. Campur kode di televisi menjadi fenomena budaya populer hari ini. Bahkan perundungan anak Jaksel (Jakarta Selatan) di sosial media menunjukan bagaimana campur kode bahasa Inggris belum dapat diterima dalam masyarakat kita. Penggunaan campur kode juga dapat menggerus rasa nasionalisme di kalangan remaja di Indonesia terutaman dalam berbahasa.

Breakout merupakan acara musik di NET TV. Acara tersebut menyajikan pemutaran video klip baik dari musikus lokal maupun internasional. Breakout mengabarkan berita terkini mengenai sesuatu yang berkaitan dengan musikus dan karyanya. Selain itu, Breakout diisi penuh dengan bincang-bincang bersama musikus yang diundang. Kerap kali di antara kedua pembawa acara dan tamu yang diundang terdapat campur kode pada setiap dialognya.

Campur kode terbagi menjadi dua mancam, yaitu (a) campur kode ke dalam (inner code-mixing) dan campur kode ke luar (outer code-mixing). Campur kode ke dalam terjadi karena penyisipan unsur-unsur yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasi-variasinya, sedangkan campur kode ke luar adalah campur kode yang terjadi karena penyisipan unsur-unsur bersumber dari bahasa asing (Suwito, 1985:76). Hasil penelitian yang diperoleh dari acara Breakout yaitu terdapat campur kode seperti dialek Jakarta dan bahasa Inggris yang digunakan oleh penutur dan lawan tutur. Campur kode dalam bentuk tunggal seperti “hits banget”, dalam bentuk frasa seperti “ada first single”  dan dalam bentuk kalimat“ Alright guys sekarang juga ada salah satu performer dari guest star kita kali ini… Hmmm… Sapaya, sapaya.. Check this out guys”. Tentu dari kata yang dituturkan oleh pembawa memiliki padanannya seperti: lagu pertama, terkenal sekali, baiklah, bintang tamu, dan sebagainya.

Bahasa Indonesia merupakan bahasa politik yang tentu tidak bisa lepas dari serapan-serapan bahasa lain. Dalam beberapa dekade bahasa Indonesia berkembang dari bahasa melayu pasar hingga ke PUEBI. Pada afiksasinya pun ikut berubah seperti dari bahasa Belanda -ir yaitu (tolerir) menjadi –isasi yaitu (toleransi) yang diadopsi dari bahasa Inggris –itation. Tentu banyak upaya dari pakar-pakar bahasa untuk meng-Indonesiakan setiap kata asing yang ada. Ini merupakan upaya orang Indonesia untuk berdaulat dalam berbahasa. Bukan berarti anti-bahasa asing, tetapi berusaha mengembangkan bahasa Indonesia dengan mencari padanan-padanannya. Oleh karena itu, alangkah indahnya jika kita sebagai warga negara menghargai, mendukung, dan juga mengikuti atau mengkritik kondisi masyarakat dalam berbahasa Indonesia.

Menilik nasionalisme Turki, Frial Ramadhan dalam Journal Masyarakat Sejarah Indonesia (2017: 57) mengenai sejarah kebangkitan nasionalisme Turki pasca perang Balkan pada tahun 1912—1913. Gökalp mengadopsi semboyan “Turkisme/nasionalisme Turki, Islamism dan modernisasi” dengan berfokus pada penerjemahan setiap kosa-kata yang diambil dari bahasa asing harus diterjemahkan ke dalam kosakata Turki (Landau 1990:74, Gökalp; 1976:5). Kemudian, para intelektual Turki lainnya seperti Mehmet Emin Resülzade, Ali Hüseinzade dan Ahmet Ağaoğlu juga beberapa dari intelektual nasionalis yang hidup awal abad ke-20 bersepakat untuk memperkuat nasionalisme Turki dengan cara penggalian warisan bangsa Turki dari mulai musik hingga sastra. (Gökalp 1968: 31). Turki pada masa itu menunjukan taring nasionalismenya dalam berbahasa. Indonesia pun pernah mengalami hal serupa pasca-Kemerdekaan, bahkan jauh sebelum itu, pasca-Sumpah Pemuda.

Kita tidak bisa menilai jiwa nasionalisme seseorang hanya dari campur kode bahasa asing yang ia gunakan dalam berbicara. Akan tetapi, menjadi sesuatu yang lumrah bilamana kebiasaan ini dibiarkan dan digunakan sehari-hari oleh masyarakat secara masif dan sporadis. Dengan begitu, kita semakin tidak berdaulat di bidang bahasa, politik, dan budaya. Selain menunjukan lunturnya nasionalisme dari sisi penutur, Fenomena anak Jaksel juga merupakan tindak penyadaran dan menguatnya nasionalisme dalam berbahasa dari sisi penolaknya. Dari sini kita dapat mengetahui seberapa cinta orang itu terhadap bahasanya dengan menjunjung tinggi bahasanya serta ikut mengembangkannya. Sudah menjadi tugas pemerintah dan warga negara untuk bersama menjaga Bahasa Indonesia baik di ruang publik agar tetap menjadi bahasa persatuan yang mencerminkan tingginya kebudayaan dan jiwa Nasionalisme yang tidak ke-which-is-which-is-an.


DAFTAR PUSTAKA

Ramadhan Supratman, Frial. 2017.  Menjadi Muslim Barat atau Muslim Asia?: Warisan
 Intelektual Turki dan Konferensi Bandung 1955 Jurnal Sejarah. Vol. 1(1), 2017: 52 – 80.
http://jurnal.masyarakatsejarawan.or.id/index.php/js/article/view/48/36, 8 September
2017.

Suwito. 1983. Pengantar Awal Sosiolinguistik, Teori dan Problema. Surakarta: Hennary Offset 
Solo.

Dalam Jaringan:

https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2017/02/penggunaan-bahasa-indonesia-di-ruang-
publik-merupakan-amanat-undangundang



Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 Komentar

Posting Komentar