Sejarah Rebutan Pengaruh Melalui Media Karya Sastra dan Lagu dari Masa Revolusi hingga Reformasi di Indonesia

1 comment
SEJARAH REBUTAN PENGARUH MELALUI MEDIA KARYA SASTRA DAN LAGU DARI MASA REVOLUSI HINGGA REFORMASI DI INDONESIA
oleh: Syahdan Husein


Pendahuluan

Dalam esai ini penulis akan membahas mengenai pengaruh karya sastra dan lagu terhadap rakyat Indonesia dari masa revolusi hingga Reformasi. Melalui proses pencarian yang sedikit singkat, penulis berhasil menemukan beberapa persoalan mengenai pengaruh-pengaruh karya sastra dan lagu. Sebelum kemerdekaan Indonesia  - menurut tradisi nusantara atau Hindia - kehidupan terus-menerus dikuasai oleh cerita atau dongeng. Bahkan cerita, dongeng, atau mitos menjadi pedoman hidup dan wadah ideologi (atau alam azas) sejak purbakala. Sejak masa Pergerakan Nasional peran Sastra memiliki arti pada perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Selain pada  perkembangan Sastra Indonesia, kehidupan sosial masyarakat dengan adanya hasil karya sastra ini menjadi faktor pendorong beberapa perubahan. Balai Pustaka  adalah salah satu badan kesusastraan yang didirikan pada saat Pergerakan Nasional. Balai Pustaka menjadi salah satu badan kesusastraan yang   bermanfaat bagi masyarakat Indonesia (Suhendar dan Supinah, 1993:135).

Memandang peran Balai Pustaka pada masyarakat sebagaimana dikemukakannya: “Kedudukan Balai Pustaka makin besar peranannya, walaupun memberikan pengekangan pada pengarang. Misalnya para pengarang diberi  jalan untuk mengarang lebih baik, sehingga bakatnya terpupuk begitu pula masyarakat diberi kebebasan untuk menikmati buku-buku terbitannya, yang dampaknya masyarakat bertambah pengetahuannya”. Menuju pada masa setelah kemerdekaan, karya sastra mulai terbuka bebas dari batasan-batasan pengekangan oleh penguasa. Karya sastra sebelumnya dibatasi dan diawasi, seperti pemerintahan kolonial yang mempunyai intervensi terhadap karya sastra yang akan diterbitkan pada masa itu. Pada masa Orde Baru, karya sastra diseleksi dari segala sesuatu yang dianggap mengkritisi pemerintah.

Dibalik karya sastra di Indonesia yang sering dibicarakan, penulis akan memaparkan pengaruh-pengaruh lagu yang bermunculan pada masa kemerdekaan hingga Reformasi, pengaruh-pengaruh karya sastra dan lagu mempunyai andil yang membentuk pola pemikiran dasar di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Sebelum menuju ke isi, penulis telah sepakat dengan keduanya, baik sastra maupun lagu harus menjadi slogan dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat. Penulis mengutip dalam salah-satu artikel kritisnya Chernyshevsky, ia menulis: “Ide seni untuk seni sama asingnya di zaman kita seperti kekayaan untuk kekayaan, ilmu untuk ilmu, dan sebangsanya. Semua kegiatan manusia mesti mengabdi kemanusiaan jika kegiatan itu tidak mau menjadi pekerjaan yang sia-sia dan keisengan belaka. Kekayaan ada agar manusia dapat menarik keuntungan darinya; ilmu ada agar menjadi pedoman manusia; juga seni harus mengabdi sesuatu tujuan yang berguna dan bukannya kesenangan yang tidak berfaedah”.

Menurut pendapat Chernyshevsky, nilai semua seni, dan terutama dari ‘yang paling serius  Chernyshevsky dalam disertasinya yang terkenal “Hubungan Estetik Seni dengan Realitas.” Menurut tesisnya yang ke-17, seni tidak hanya mereproduksi kehidupan, melainkan menjelaskannya: hasil-hasil seni acapkali “mempunyai tujuan untuk melakukan penilaian atas gejala-gejala kehidupan.” Mengenai itu, penulis sepakat berangkat dari istilah seni untuk rakyat telah membukakan lebar-lebar perjuangan bangsa Indonesia untuk meraih kemerdekaan. Dibawah ini, penulis akan membahas mengenai karya seni berupa karya tulis dan lagu dari masa Kemerdekaan Indonesia sampai menjelang Reformasi.


Pembahasan

Keberadaan karya sastra dan lagu sangat berpengaruh dan memiliki peran penting dalam memunculkan kesadaran perlawanan di tengah-tengah masyarakat Indonesia dari masa mempertahankan Kemerdekaan (1945-1966) hingga terjadinya Reformasi (1966-1998) melawan kediktatoran penguasa Soeharto. Sastra dibagi menjadi dua, kesusastraan umum dan kesususastraan khusus. Kesusastraan umum ialah segala sesuatu yang dinyatakan dengan bahasa boleh disebut kesusasteraan; jadi, ilmu, warta, undang-undang, piagam, iklan, dsb, termasuk golongan umum. Kesusastraan khusus ialah segala apa yang dinyatakan dengan bahasa yang indah serta isi karangannya baik dan berfaedah. Dalam arti yang sedalam-dalamnya disebut khusus, kedua hal tersebut menjadi dasar dalam kesusastraan pada masa silam. Akan tetapi, pergerakan kesusastraan Indonesia kini terbagi menjadi dua, yaitu sastra serius dan sastra populer. Sastra serius merupakan sastra yang memiliki bobot berat dan estetika yang tinggi, sering kali disejajarkan dengan sastra dewasa. Sedangkan yang populer sering diartikan sebagai karya sastra yang ringan dan disejajarkan dengan sastra remaja kini, atau sastra sebagai sarana hiburan (Udasmoro, 2014:1).

Berdasarkan isinya lagu memiliki tiga jenis, yaitu bernuansa kepahlawanan, perjuangan dan kritik. Lagu-lagu yang bermuculan dalam masa Revolusi ialah lagu-lagu yang bernuansa kepahlawanan dan perjuangan, keduanya dijadikan sebagai lagu wajib contohnya lagu ‘Sumpah Pemuda’ yang disusun pada tahun 1940, ‘Bagimu negri’ tahun 1942. Lagu Perjuangan ‘Sepasang mata bola’, ‘Halo halo Bandung’, ‘Gugur bunga’ dan ‘Selendang sutera’ yang diciptakan oleh Ismail Marzuki pada masa peperangan kemerdekaan tahun 1945 dan 1950. Pada periode yang sama, lagu ‘Maju tak gentar’, dan ‘Indonesia tetap merdeka’ diciptakan oleh Cornel Simandjuntak. Di antara lagu-lagu mereka itu pernah dinyanyikan oleh anak-anak sekolah pada acara pertemuan Konfrensi Asia-Africa tahun 1955. Namun setelah Orde Baru berkuasa, lagu seperti itu seakan hilang digantikan dengan lagu-lagu yang berkhianat terhadap Revolusi Indonesia dan dijadikan alat oleh Orde Baru dalam menghilangkan kesadaran perjuangan Revolusi Indonesia. Lagu-lagu yang mempunyai semangat revolusi secara resmi dilarang beredar di lingkungan hidup masyarakat pada awal rezim Orde Baru berdiri. Pada tahun 1967 rezim Orde Baru sangat berhati-hati dalam menghindari kata yang berbau revolusi.

Seiring berjalannya pemerintahan Soeharto yang otoriter, rakyat semakin sadar akan keboborokan dan banyaknya penyelewengan yang dilakukan Soeharto dan kroni-kroninya. Merespon hal tersebut, Harry Roesli menulis sebuah lagu kritik yang memprotes sang penguasa, lagu tersebut berjudul ‘Si Cantik’ dirilis pada tahun 1997, dan ‘Gitar Satu Senar’ yang mengkritik kebijakan pemerintah mengenai asas tunggal. Iwan Fals juga menulis lagu yang berjudul ‘Surat Buat Wakil Rakyat’ yang mengkritik Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai pelaku KKN yang sangat subur sekali bersemi di tubuh rezim Orde Baru. Tidak ingin kalah, Orde Baru juga menggunakan lagu sebagai alat pencitraan dan alat legitimasi rezim Orde Baru yang penuh kepalsuan. Rezim memunculkan lagu  berjudul ‘Hymne Pancasila’, ‘Mars 17 Agustus’, ‘Indonesia Tetap Merdeka’, ‘Berkibarlah Benderaku’, dsb.

Hampir pada konteks seluruh masyarakat baik dalam maupun luar negri, ketika ruang nyata tidak memiliki kekuasaan atau power untuk menentang rezim yang berkuasa maka ruang imajinerlah yang digunakan. Itulah yang terjadi pada masa mempertahankan kemerdekan hingga Reformasi, lagu-lagu memiliki kekuatan tersendiri dalam membangun kesadaran dan perjuangan suatu masyarakat. .Lagu-lagu bernuansa kepahlawanan, perjuangan dan kritik sosial dapat diketahui bahkan dihafal secara luas dan masif oleh rakyat. Lagu wajib sangat berperan dalam membentuk semangat Revolusi Indonesia pada masanya. Dari masa Revolusi sampai masa Reformasi lagu tetap menjadi yang efesien digunakan sebagai media propaganda pemerintah maupun rakyat. Lagu juga digunakan mahasiswa dalam membentuk kesadaran kolektif masyarakat umum. Dari lagu “Darah Juang” pelbagai elemen masyarakat bersatu dan bersama-sama membentuk kekuatan untuk menumbangkan rezim Orde Baru.

Lagu bisa didengarkan banyak orang namun tidak dengan karya sastra. Karya sastra masa revolusi juga sama, membangun keoptimisan rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan, membasmi rasa inferior, mencerdaskan kehidupan bangsa, seperti karya novel, cerpen dan puisi. Namun karya sastra tidak seperti lagu yang dapat menyebar secara luas dan masif di lingkungan rakyat Indonesia. Melihat situasinya yang cepat, Sastra Angkatan’45  masa itu pun mengekspresikan revolusi tersebut. Ketika itu tidak ditemukan kata-kata yang serba muluk mendayu-dayu, serta cita-cita yang direnda dalam imajnasi yang indah melambung rasa. Kata-kata dimanfaatkan selektif mungkin, singkat, padat, tepat, bernas, jelas mementingkan isi, berangkat dari realitas, meskipun tidak meninggalkan nilai-nilai sublime dan estetika.

Para sastrawan itu ialah, Idrus, Asrul Sani, Pramoedya Ananta Toer, Achdiat Kartamiharja, Aoh. K. Hadimadja, Rosihan Anwar,  Chairi Anwar, dan Rivai Aripin. Semasa Demokrasi  Liberal, munculah Generasi Kisah (1953-1961) yang dimotori oleh Ajip Rosidi yang menyebut angkatanya dengan istilah “Angkatan Sastra Terbaru”. Generasi Kisah ini muncul dalam Sejarah Sastra tanpa mengibarkan bendera revolusi. Generasi setelahnya adalah Generasi Manifes Kebudayaan (1962-1969) yaitu Taufiq Ismail, Bur Rasuanto, Goneawa Mohamad, Subagio Sastrawardoyo, Sapardi Joko Damono dan lain-lain. Seperti pernah diceritakan sebelumnya mengenai dominasi rezim militer Orde Baru dan seniman-seniman sebagai antek-antek penguasa yang menekan segala sesuatu berbau Revolusi. Kemudian muncul Angkatan ’80 dengan konsepsinya yang banyak kesamaan dengan generasi manifest kebudayaan (Manikebu). Perbedaan yang ada lebih menunjuk pada usia sastrawan, jumlah media masa dan penerbit, dan bukan pada hal-hal prinsip. Mereka adalah Abdul Hadi W.M, Arswendo Atmowiloto, Darmanto Jatman, dan lain-lain.  Warna tema sastra dekade 70 sampai 80-an ini sangat berbanding tebalik dengan Angkatan ’45. Pada pertengahan sampai mendekati masa runtuhnya kekuasaan Orde Baru munculah Sastrawan-Sastrawan yang banyak mengkritik Orde Baru seperti W.S Rendra,  Seno Gumira Ajidarma, Wiji Thukul, Wijaya, dan lain-lain.

Sebelum menuju penutup, penulis ingin memberi kesimpulan mengenai apa yang dituliskan di atas. Jadi, Sastra dan Lagu sama-sama mempunyai peran penting dalam memengaruhi banyak orang, Sastra dan Lagu sudah sangat akrab berada di antara rakyat dan penguasa. Rakyat kepada rakat, dan penguasa kepada penguasa. Sesuatu yang harus menjadi kesepakatan bersama bahwa sebuah karya seni baik sastra maupun lagu yang menjadi alat propaganda harus berdasarkan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Maka sudah seharusnya keusastraan pada masa Revolusi Indonesia kembali direproduksi, diperbanyak, dikembangkan, dan diperbarui agar terciptanya generasi-generasi yang mementingkan harkat dan martabat orang banyak, khususnya Rakyat Indonesia yang kini terinjak-injak oleh kebudayaan luar yang diamini oleh mereka-mereka yang berkuasa dengan seniman-seniman yang menjadi antek-anteknya Orde Baru. Dengan kebudayaan yang telah terbentuk pada masa Orde Baru, Indonesia mangkrak dalam banyak hal.

Penulis bukan sepenuhnya tidak setuju dengan kesusastraan yang mendukung Orde Baru, karena ada lima elemen  penting yang menaikan angka pertumbuhan, baik mengenai kesusastraan dari masa sebelumnya yaitu  (1 kebebasan berekspresi, (2) sokongan dana terhadap kesusastraan, (3) pendidikan, (4) media masa dan (5) jumlah pembaca. Oleh karena itu, Reformasi di mana tumbangnya kekuasaan Orde Baru jangan dijadikan suatu euforia bangkitnya demokrasi di Indonesia semata, melainkan sebagai garis lanjut dari pencapaian Revolusi Indonesia pada masa perjuangan dahulu. Rezim Orde Baru sudah tumbang oleh kekuatan rakyat, sepatutnya juga pembangunan dan mengembalikan Revolusi dilakukan juga oleh rakyat. Oleh karena itu, melalui sastra dan lagu dapat mengembalikan bangsa Indonesia kepada garis perjuangan bukan hanya melawan kolonialisme, imprealisme, dan kapitalisme, akan tetapi juga melawan kebodohan, pembodohan, korupsi, kolusi dan nepotisme yang subur di tubuh Indonesia sejak sebelum merdeka hingga kini.


Penutup

Kebebasan akademis, kebebasan berpendapat, dan segala kebebasan yang diusung oleh demokrasi telah kembali direbut setelah terjadinya Reformasi. Akan tetapi, jangan sampai kebebasan itu menjadi hal milik pribadi saja tanpa memerhatikan hak-hak orang lain. Sastra dan lagu menjadi sarana yang baik dalam mengutarakan kritik sosial. Tidak bisa dipungkiri, keduanya pun sekarang menjadi media kampanye dari berbagai partai maupun non-partai politik yang ingin mengusung dirinya menjadi pemimpin. Sejarah kekuatan sastra dan lagu yang membentuk opini-opini dan kesadaran harus perlu diperhatikan aspek-aspeknya terhadap mental Rakyat Indonesia kini. Penulis mengutip tulisan Abdul Wahid Sejarawan UGM “kita bisa saja tidak setuju dengan narasi historis yang berbeda, tapi kita tidak bisa memaksakan penolakan karena sejarah adalah medan pemaknaan dan penafsiran yang dinamis. Kita harus sadar bahwa keragaman narasi historis, betapa pun inconvenient bagi kita adalah sebuah keniscayaan”. Dengan demikian, penulis mendapat keniscayaan bahwa tanpa sastra dan lagu yang saling berebut pengaruh tidak akan ada perkembangan dan perubahan apalagi jika tidak ada yang menyaingi narasi dominan kekuasaan otoritarian.


DAFTAR PUSTAKA

Gazali. 1952.  Tebaran Bunga Jakarta : N.V vh G. C. T. VAN DORP & Co.

Mujiayanto, Yant & Fuady, Amir. 2010. Sejarah Sastra Indonesia, Surakarta : LPP UNS
Press.
Plekhanov, G.V. 1957. Art and Social Life. Moscow : Foreign Languages Publishing House.

Pramoedya. 1982. Tempo Doeloe Jakarta : Hasta Mitra.

S. Oemarjati, Boen. 1979. Social Issues In Recent Indonesian Literature. Southeast Asian
Affairs, utheast Asian Affairs (1979), pp. 134-141.

Udasmoro, Wening. 2014. KONSTRUKSI INDENTITAS REMAJA DALAM KARYA
SASTRA. Yogyakarta : PSSP FIB UGM.

Van Dijk, Kees. 2003. The Mangnetism of Song. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde,
Vol. 159, No. 1 (2003), pp. 31-64.

Wahid, Abdul. 2015. “Bung Tomo dan Pertempuran Surabaya” dalam Majalah Tempo, Jakarta :
DKJ.




Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

1 komentar