Kata “Monyet” adalah kata
terpopuler yang sering digunakan untuk mendiskriminasi suatu bangsa terhadap
bangsa lain. Orang pribumi di zaman kolonial sering disebut monyet, seperti
prasangka “Minke” (dibaca: Mingke) tentang namanya yang hampir dekat dengan
kata “Monkey” di mata gurunya dalam
novel Bumi Manusia Karya Pramoedya A.T. Orang kulit hitam atas kulit putih di
Amerika Serikat zaman perbudakan pun demkian mengalaminya. Sebenarnya menyamakan
seseorang dengan binatang adalah suatu adat buruk yang biasa terjadi di
lingkungan kita, akan tetapi pada konteks Papua, hal ini menjadi isu penting
untuk kata yang benar-benar harus dihindari. Lalu apa yang menjadi sebab
terjadinya perilaku yang tidak pantas yang dialami oleh orang Papua?
Pendidikan multikuluralisme menjadi
pembahasan penting dari kasus ini. Representasi orang papua begitu minim di
sekitar kita. Sewaktu kecil, tidak adanya identitas orang papua yang saya liat
di buku-buku sekolah. Bahkan representasi pahlawan dari Papua saja saya baru ketahui
dari mata uang yang baru keluar belum lama ini. Mengedepankan representasi
orang Papua itu sangat penting. Representasi tersebut bukan hanya dari keindahan
alam untuk pariwisata semata atau iklan-iklan telivisi yang berkaitan tentang
keberagaman saja. Coba kita tengok panduan atau ilustrasi pemberitahuan di
Puskesmas atau Rumah Sakit, representasi Papua jarang ditemui. Buku-buku gambar
anak kecil, sangat jarang diperkenalkan warna kulit hitam. Ketika ditanya warna
kulit orang Indonesia itu apa, sawo matanglah yang sering kita dapat sebagai
jawabannya. Padahal ada banyak warna kulit selain sawo matang di Indonesia
khususnya orang Papua. Jujur saja, saya baru mendapatkan kelas multikulturalisme di
bangku kuliah.
Selain representasi, body shaming adalah hal paling dekat
untuk menganalisis hinaan monyet tersebut, entah kesamaan warna kulit atau perilaku.
Body shaming menjadi senjata yang
paling sering digunakan dalam perundungan (bullying).
Boncel, kuntet, jangkung, gendut, krempeng, hitam, tonggos, ompong, pesek, pedok,
budeg, peang, cacat, menjadi kata yang sering digunakan untuk body shaming. Karena standar kecantikan/ketampanan menjadi begitu bringas dalam menilai
buruk seseorang. Tidak sedikit perkelahian diawali karena ejekan dan hinaan. Salah
satunya pembakaran kantor DPRD di Manokwari yang baru saja terjadi hari ini, 19
Agustus 2019, oleh masyarakat karena tersulut hinaan “Monyet”. Siaran Pers No.
154 pada hari tanggal yang sama, Kominfo sempat melakukan pelambatan akses
internet di beberapa wilayah Papua Barat dan Papua untuk meredam tersebarnya
hoaks dan disinformasi perihal kasus mahasiswa Papua yang belum lama terjadi
setelah Hari Kemerdekaan Indonesia di Malang dan Surabaya. Melihat respon
masyarakat Papua yang bersikap demikian bukanlah sesuatu bisa dibilang
reaksioner. Puncak kekecewaan orang Papua kepada pemerintah tidak terjadi
sehari dua hari saja atau baru-baru ini. Semenjak Orde Baru dibangun dengan
tumpahan darah orang-orang kiri, korban kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua
sudah sering terjadi di zaman serba “siap komandan” itu. Pengerukan SDA, “nasiisasi”
kepada orang Papua, penyawitan, dan tindakan kekerasan sering dialami salah
satunya yaitu penangkapan Filep Karma, penangkapan dan pemukulan mahasiswa Papua
oleh aparat dan ormas ketika melakukan aksi demonstrasi. Puncak kemarahan yang
terpendam turun temurun tersebut tentu tidak bisa dipadamkan dengan mudah.
Streotyping
adalah sisi terkejam
dari kebodohan. Oleh karena itu, stereotip buruk yang harus dihindari
untuk menilai seseorang dari ras, warna kulit, agama dan golongan. Pemanggilan
si Pace, si Batak, si Ambon, si Jawa, si Cina merupakan bibit-bibit
disintegrasi dari sebuah panggilan kepada seseorang. “Mereka adalah kita“ merupakan
slogan yang cocok untuk melawan stereotipe tersebut. Jika seseorang dari suatu ras,
suku, bangsa atau agama tertentu berbuat salah, kesalahan tersebut dipikul oleh
seluruhnya. Hal demikian sungguh tidak adil untuk diterima seseorang atas
sesuatu yang bukan kesalahannya. Nenek saya bercerita mengenai penamaan paman
saya yang paling bontot. Sesuatu yang aneh sebagai orang Batak menamai anaknya
dengan nama Jawa atas dasar rasa aman dan demi masa depannya yang cerah. Nenek
saya memberi nama anaknya dengan nama Jawa karena pada peristiwa Malari orang
Batak di Jakarta dimusuhi atau dibenci dengan alasan orang Batak sebagai salah
satu aktor kerusuhan tersebut dalam melawan Soeharto. Tindakan stereotip
seperti ini sudah menjamur di sekitar kita. Bentuk penolakan berupa tulisan
yang terpajang di depan kos “tidak menerima kos mahasiswa Papua” di Jogjakarta adalah
contoh kejam dari stereotip yang pernah dialami oleh orang Papua.
Dengan demikian, sebelum menyoroti
persoalan Papua, sebaikanya kita menyoroti lingkungan sekitar kita. Apakah kita
sudah terbebas dari watak kolonial degan menyebut suatu bangsa dengan kata “Monyet”.
Menjadi seseorang yang memiliki watak merdeka adalah memerdekakan orang lain.
Memerdekakan Papua dari diskriminasi, intimidasi dan sikap rasis dari orang
lain adalah tugas sebagai bangsa yang merdeka.
0 Komentar
Posting Komentar