|
Njoto adalah seorang
politikus, publisis dan budayawan yang termasyhur pada era ‘60an. Ia lahir di
Jember, Jawa Timur. Tentu bukan tidak beralasan penulis memilih Njoto sebagai
tokoh yang penulis kagumi. Beberapa hal mengenai dirinya dapat diketahui dari
beberapa artikel majalah, website, dan buku biografinya yang diterbitkan KPG
dan Marjin Kiri. Satu ditulis oleh wartawan Tempo dan satunya adalah skripsi yang disusun oleh
mahasiswa sejarah UI sebagai penunjang syarat gelar S1 nya.
Njoto lahir di Jember pada
tanggal 17 Januari 1927 di era kolonial belanda. Ia terlahir dari keluarga
kelas menengah di daerah Besuki, di ujung timur jawa yang subur. Bapaknya
bernama Rustandar Sosrohartono seorang pedangang batik dan jamu,
sementara ibunya Maslamah seorang pemborong yang mempunyai rumah berlantai
tiga. Bapaknya seorang anggota Partai Komunis di Surakarta pada tahun ‘20an,
menduduki jabatan sebagai sekertaris agitasi propaganda (Agitprop) di OsC PKI
Bondowoso, dan meninggal akibat pemenjaraannya di Kaliosok.
Njoto mengenyam pendidikan
formal pertamana di Hollandsche-Indlandsche School (HIS). Setelah lulus dari
HIS ia bersekolah di Meer Uitgerbreid Lagere Onderwijs (MULO)
Jember. Setelah itu Ia pindah bersama adiknya ke Surakarta dan tinggal di rumah
kakek dari ayanya. Sabar Anantaguna salah seorang kawan satu sekolahnya
mengatakan bahwa Njoto sudah pandai menulis sejak itu. Dengan demikian Njoto
dipilih oleh gurunya sebagai ketua kelas. Tampilan Njoto pun lebih rapih ketimbang Sabar sebab Njoto lahir dari keluarga yang berkecukupan.
Njoto memiliki semangat yang bagus untuk mempelajari sesuatu hal, baik untuk kepentingan dirinya sendiri
maupun orang lain. Njoto mempunyai keberanian dalam sejarah perjuangan. Disaksikan kerabatnya, Jusuf Ishkak, ia pernah menjabat sebagai Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP) di Yogyakarta dari perwakilan PKI Banyuwangi, dan ia
memalsukan tahun kelahirannya jauh lebih tua agar dapat diterima. Dengan keberaniannya pula ia berhasil menjadi Mentri Negara di kabinet terakhir Soekarno.
Njoto disebut oleh Harbert
Feith sebagai seorang solidarity maker, seorang
penggerak solidaritas. Ia banyak menyerukan pembacanya untuk melakukan hal
baik, seperti Turun ke Bawah (Turba). Turba menunjukan rasa solidaritas atas
sesama seperti slogan yang dibuatnya yaitu ‘sama rata sama rasa’ atau
hubungan “tiga sama” bekerja bersama, makan bersama, dan tidur bersama.”
Ini menunjukan watak Njoto yang konkret dalam membangun perjuangan bersama dan
belajar dari massa. Seperti apa yang ia katakan dalam pidatonya. “… kita harus selalu belajar sebagai seorang murid kecil, dengan
rendah hati belajar dari mereka-mereka yang mendahului kita, belajar dari
sahabat-sahabat di luar negri, dan yang terpenting belajar selalu dari
masa,beguru kepada masa.”
Dalam bukunya yang berjudul Marxisme Ilmu dan Amalnya tertulis
“Kita melancarkan gerakan turun ke bawah tidak dan tidak pernah menggurui
massa” tegas Njoto. Mengenai ini Njoto dapat dikatakan sebagai orang yang tidak
sombong dan menganggap diri sendiri tidak lebih baik dari yang lain. Ia menyarankan
kepada kawan-kawan agar belajar kepada petani, buruh pabrik, kaum pekerja yang
disebut proletariat. Dari situ setiap orang bisa merasakan langsung setiap
peristiwa dan perasaan yang dialami oleh proletariat.
Banyak nilai tauldan yang
dapat ia berikan bagi manusia dan kemanusiaan, baik di bidang politik, budaya
dan perwartaan. Ia salah satu pendiri Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), dan
Menjadi Pimpinan Redaksi (Pimred) Koran Harian Rakyat pada tanggal penghujung
Oktober 1953 menggantikan posisi Siauw Giok Tjhan. Harian Rakyat adalah salah
satu Koran dengan oplah terbesar pada zamannya, yaitu lebih dari 30.000
eksemplar.
Njoto seorang polyglot, Ia
gemar membaca sejak kecil. Menurut Marx “Bahasa asing adalah senjata dalam
perjuangan hidup.”. Ia banyak membaca literatur dari bahasa-bahasa yang
diterjemahkan ke bahasa inggris. Dari Belanda seperti Annie Romien Verschoor,
Van Blankensetein , Multatuli. Dari Uni Soviet seperti Anton Chekhov, Nikolai
Ostrovski, Vladimir Mayakoski, Boris Pasternak, Fyodor Dostoyevski, Leo
Tolstoy, Maxim Gorki, Mikhail Sholokov, Nikolai Gogol, Vissarion Byelinski,
Alexander Sergeyvits Pushkin. Dari Cekoslowakia seperti Julius Fucik, Peter
Besruc, Jaroslav Hasek, Jaroslav Seifret, Karel Capek, Josef Svatopluk
Machar, S.K Neumann, Jiri Wolker, Josef Hora. Dari Prancis, Lois Aragon, Honore
de Balzac, Roiger Vailland, Albert Camus, Romain Rolland, Jean Paul Sartre.
Dari Denmark seperti Martin Anderson Nexo, Hans Cristiann Andersen. Dari Italia
seperti Ignazio Silone. Dari Cile seperti Pablo Neruda. Dari Turki seperti
Nazim Hikmet. Dari Indonesia seperti Idrus, Sitor Situmorang, Hamka, Pramoedya
Ananta Toer, Utuy Tantang Sontani. Selain membaca banyak buku dari belahan
dunia lainnya Njoto juga menerjemahkan beberapa puisi dari penyair dunia
seperti L.P.J Braat dari Belanda, Joe Wallace dari Kanada, Tien Yi dari
Tiongkok, Walt Whitman dari Amerika Serikat, Musa Jalil penyair etnis Tartar,
Martir Carter dari Guyana, Samuel Marshak, Vladimir Mayakovski dan Alexei
Surkov dari dari Uni Soviet. Njoto juga menerjemahkan karya puisi tokoh besar
seperti Karl Marx, Mao Zedong dan Ho Chi Minh yang jarang diketahui khalayak.
Di usia remajanya Njoto piawai memainkan biola dan saksofon. Ia
senang bermain musik dan sempat membentuk grup band. Sebagaimana pada remaja
umumnya ia menikmati masa mudanya dengan ber-eksperiment di
bidang seni. Ia membentuk grup suara putri, yang berisi empat penyanyii remaja, salah satunya adalah Windarti dan Njoto sebagai pemetik gitarnya.
Penampilan Njoto necis, ia senang menulis puisi yang puitis tidak melulu tentang
perjuangan rakyat dan kaum tertindas. Ia sering mengunjungi pameran karya seni
lukis bersama kawan-kawannya di waktu senggang. Selain itu ia pintar bergaul. Diakui bahwa bakatnya dalam bidang tulis menulis lebih menonjol dibanding dalam bidang
olahraga.
Ia berkenalan dengan Marxisme lewat buku-buku yang menjadi
penuntun jalan hidupnya. Ia memilih sosialis sebagai idiologinya. Dari awal ia
masuk Partai Komunis Indonesia (PKI) di lingkup kecil daerahnya, perlahan-lahan ia menjadi sosok yang
diperhitungkan dan mengisi lembar sejarah perjalanan PKI dan perjuangan revolusi Indonesia, tidak terkecuali dengan Harian Rakyat
tempatnya ia berdialektika.
Njoto membenci Amerika
Serikat dan Belanda bukan karena bangsanya, tapi karena idiologi yang dianut
bangsanya. Karena Marxisme ia menjadi anti-imperialisme, anti-feodalisme,
anti-kapitalisme dan anti Exploitation del’homme par
l’homme. Marxisme mempunyai tiga bagiannya yang tidak
terpisah-pisahkan satu sama lain. Yaitu ajaran-ajaran tentang: ekonomi politik,
falsafat dan sejarah.
Dalam gagasannya ia menyampaikan bahwa “Politik adalah Panglima”
Politik bisa hidup tanpa budaya namun budaya tidak bisa hidup tanpa politik,
pernyataanya di Kongres Nasional Lekra 1951 “politik sebagai panglima”.”tanpa
politik sebagai panglima, perkembangan kebudayaan pada umumnya dan sastra pada
khususnya tidak bakal tahu tugas dan gariss yang harus ditempuh, bisa terjadi
demam kegiatan, tapi kenyataan akan merupakan gerakan tanpa kemajuan.”. Namun
dari sudut pandang sosialisme bahwa di lapangan politik haruslah berarti
kekuasaan di tangan rakyat. Ini merupakan terapan dari demokratis substansial
yang mana segala keputusan dan kebijakan dibentuk oleh rakyat untuk rakyat dan
kembali kepada rakyat bukan dari sistem perwakilan-perwakilan yang berlaku sebaliknya.
Seperti yang dituliskan Yongky Karman di Koran kompas (10/4) Tingkat demokratis
suatu bangsa tidak hanya diukur dari tingginya partisipasi dalam pemilu, tetapi
juga dari politik kewarganegaraan dalam praktik. Jadi, apa yang dimaksud Njoto
adalah demokratik dalam bentuk sosialisme sejati.
Njoto menandaskan bahwa
“dalam sosialisme manusia bekerja menurut kemampuannya dan mendapat menurut
prestasi atau hasil kerjanya” artinya masyarakat sosialis itu nihil penindasan
masyarakat tanpa exploitantion del’homme par l’homme. Menanggapi kemunculan
banyaknya versi sosialisme seperti sosialisme a la Indonesia sosialisme a la Tiongkok, sosialisme a la Arab, sosialisme a la Kuba dll. Njoto menolaknya
sebab sosialisme dimanapun berada ia tetap sosialisme dan itu yang dinamakan
sosiialisme sejati.
Sosialisme adalah suatu susunan sosial atau sistem masyarakat yang
berdasarkan pemilikan bersama atas alat-alat produksi. Penulis minta perhatian:
alat-alat produksi. Jadi, bukan atas meja-kursi, buku-buku, tempat tidur,
sepeda, dan sebagainya. Dalam sosialisme proses produksi berlangsung secara
sosial, demikian pun hasil-hasilnya dikenyam secara sosial. Ini berarti bahwa
sosialisme itu bukan kapitalisme yang produksinya berlangsung sosial (kalau
tidak ada kaum buruh yang banyak itu tidak akan ada produksi kapitalis!) tetapi
hasil-hasilnya masuk ke kantong si kapitalis saja, jadi asosial. Sosialisme
tidak boleh disederhanakan menjadi “sama rata sama rasa,” di mana orang yang
bekerja berhak makan dan orang yang tidak bekerja juga berhak makan, atau di
mana si rajin mendapat persis sama dengan si malas. Sebaliknya, dalam
sosialisme hanya yang bekerjalah yang berhak makan, sedang yang tidak bekerja
tidak berhak atas makan. Begitu pun, si malas tak akan mendapat sebanyak si
rajin. Kian rajin akan kian banyaklah pendapatannya. Seperti dikatakan oleh
Karl Marx: Dalam sosialisme manusia bekerja menurut kemampuannya dan mendapat
menurut prestasi atau hasil kerjanya.” Pendeknya, sosialisme adalah masyarakat
tanpa exploitation de l’homme par l’homme, tanpa
pengisapan oleh manusia atas manusia, seperti berulang-ulang dinyatakan oleh
Bung Karno. (Njoto, 1962:52)
Barang siapa membaca kumpulan karangan Marx, tahulah dia bahwa
Marx bukan hanya besar perhatiannya pada soal-soal masyarakat, tetapi juga
besar perhatiannya pada soal-soal ilmu alam pada umumnya, pada matematika, pada
biologi. Tetapi sebagian sangat terbesar dari waktunya digunakannya untuk
penyelidikannya di lapangan ekonomi. Karya utamanya yang menumental itu, Das
Kapital, adalah hasil pekerjaan selama empatpuluh tahun. Bung Karno
menulis tentang marxisme ketika berusia 32 tahun, “walaupun teori-teorinya
sangat sukar dan berat bagi kaum pandai, maka amat gampanglah teorinya itu
dimengerti oleh kaum yang tertindas dan sengsara, yakni kaum melarat-kepandaian
yang berkeluh-kesah itu.” Jadi, Marxisme inilah yang membentuk watak Njoto.
Ketika Kongres Kebudayaan Indoneia ke-III pada 1954 Njoto berujar
mengenai literasi kebudayaan “menolak yang lama mengambil dari yang lama itu
unsur-unsurnya yang positif, meneruskanya dan mengembakannya secara kreatif.
Perlu diingat; yang baru itu tidak ada artinya, jika ia tidak lebih baik
daripada yang lama.”Artinya Njoto menjadikan marxisme jauh dari kata dogmatis
yang kebanyakan dianut oleh kaum marxisme orthodox.
Bab-bab bukunya terdapat
tentang marxisme sebagai ilmu, filsafat proletariat, ekonomi sosialis, dan
sosialisme Indonesia. Dalam bukunya Njoto banyak menuliskan tentang buruh dan
tani, bahwa apa yang terjadi di Negara tiongkok dan rusia dulu bahwa kesukarelaan
adalah satu-satunya dasar yang digunakan dalam mengkolektivisasikan pertanian.
Industri nasional harus diprioritaskan berikut upah buruh yang patut diberi.
Semuanya demi kemakmuran Negara dan rakyatnya.
Nilai-nilai tauladan yang
patut dicontoh dari Njoto yakni, ia orang yang murah hati, sering membantu
temannya yang sering kesulitan. Ia dianggap serba bisa oleh kawan-kawannya
Joesoef isak, Jeane Luyke, Amarzan, Umar Said dan Oey Hay Djoen. Njoto ahli di
berbagai bidang mulai urusan politik, seni, olahraga hingga tempat-tempat yang
menyajikan makanan lezat. Sejak muda ia aktif berpolitik, orang seperti dirinya
tidak banyak ditemukan pada eranya. Hal ini kemungkinan didorong oleh latar
belakang ayahnya yang juga sebagai aktor politik dan berdagang. Orang yang
pintar berpolitik dan berdagang pada masanya tentu bukan orang biasa yang
mempunyai kemampuan biasa.
Di akhir hayatnya Njoto hilang, dianggap meningal dunia
pasca peristiwa G30S, PKI dan Underbownya tertuduh sebagai dalang pembunuhan
para Jendral. Soeharto yang mengambil alih kekuasaan sangat buas memburu PKI
sampai tuntas. Jutaan orang dibunuh secara sadis dan lainnya dipenjara tanpa
pengadilan dan tanpa durasi kurungan. Hal-hal yang dapat ditiru dari Njoto
adalah sosok yang cerdas, senang membaca, dan pandai menulis. Ia orang yang
disiplin dalam bekerja dan tegas dalam mengambil keputusan. Selain itu, Njoto sebagai bapak
yang tangguh memiliki enam anak dari Soetarni istrinya.
Di akhir bukunya Njoto
menuliskan “Tanpa persatuan nasional dengan kaum buruh dan tani sebagai
kekuatan pokoknya dan Nasakom sebagai porosnya, takkan ada pelaksanaan Manipol
secara konsekuen, sedang tanpa pelaksanaan Manipol secara konsekuen, takkan ada
Sosialisme Indonesia.” Manipol adalah sebuah konsepsi manifestasi politik Presiden
Soekarno yang dibarengi dengan USDEK yaitu meliputi Undang-Undang Dasar (UUD)
1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan
Kepribadian Nasional. Njoto dengan kedekatannya dengan Soekarno ia dianggap
sebagai Soekarnois. Akan tetapi, jiwa Nasionalisme Njoto tidak melunturkan jiwa
Sosialisme sejatinya.
Penulis mendapat banyak
nilai tauldan yang patut dicontoh dari seorang Njoto. Roeslan Abdul Ghani dalam Di Hadapan Tunas Bangsa bercerita mengenai
retorika Njoto di hadapan peserta sidang MPR “aku cinta kemerdekaan karena aku
kenal deritanya rakyat jajahan, aku cinta keadilan karena aku kenal deritanya
rakyat diperlakukan sewenang-wenang, dan aku cinta kemakmuran rakyat karena aku
kenal deritanya rakyat kelaparan.” Njoto menyampaikannya dengan penuh
penghayatan. Njoto patut dicatat dalam sejarah perjuangan revolusi Indonesia,
baik sebagai pahlawan maupun rakyat yang berjuang untuk mempertahankan
kemerdekaan. Dengan demikian bagi para pembaca dapat meneruskan perjuangannya
dan ikut serta mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia yang saat ini jauh
dan belum terlaksanakan.
Sebagai penutup, penulis ingin menyampaikan kepada pembaca bahwa setiap orang memiliki sejarah yang
berbeda-beda. Masa lalu akan menggali kuburan sendiri dan masa depan akan
menulis jalan ceritanya bersama-sama. Marilah kita bersama-sama menegakan
kedaulatan rakyat atas negara, kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.
Mengambil contoh perjuangan dari kawan Njoto, kita buang yang buruknya
dan ambil yang baiknya, sekian.
Daftar Pustaka
Aziz Firdausi, Fadrik. 2017. Njoto
Biografi Pemikiran 1951-1965. Tangerang : Marjin Kiri
Njoto. 1962. Marxisme; Ilmu dan
Amalnya, , Jakarta : Harian Ra’jat
Seri Buku Tempo. 2010. Njoto,
Peniup Saxofon di Tengah Prahara. Jakarta : KPG.
Harrah's Cherokee Casino Resort - MapyRO
BalasHapusHarrah's 김천 출장샵 Cherokee Casino Resort. Find your way around the casino, find where everything 슬롯 나라 is located with these 전라남도 출장샵 helpful community guides. Rating: 7.6/10 · 영주 출장샵 15 reviews · Price range: $32 - $99 사천 출장샵