Pledoi Pecahanku di Kaca Dunia

No Comments


Assalamualaikum.

Bissmillah

Yang Terhormat, Majelis Hakim, Pendamping Hukum, Jaksa Penuntut Umum dan para Hadirin  di ruang sidang ini.


Pertama-tama saya meminta maaf kepada keluarga saya, kepada kawan-kawan, kepada seluruh orang yang percaya dan kecewa, saya meminta maaf atas apa yang saya lakukan sehingga semuanya ikut susah. Kemudian, saya berterima kasih kepada keluarga saya, kawan-kawan saya, pendamping hukum saya, juga seluruh solidaritas yang menemani saya di pengadilan ini beserta doa-doa yang telah menyertaiku. Saya berterima kasih kepada Jaksa yang telah banyak mempertimbangkan sehingga tuntuntan tersebut merupakan yang terbaik untuk saya, begitu juga terima kasih kepada Majelis Hakim untuk segala putusan nanti.


Kawan-kawanku, dunia begitu kejam, ke-jam-jam yang kita lewati bersama, atau ke detik-detik kita bertemu dan berpisah. Proses persidangan ini membuat saya tersadar bagaimana manusia menciptakan segala mekanismenya sendiri, termasuk bagaimana menilai keadilan. Dunia yang kejam ini, terus berusaha mengingatkan kita kepada waktu, kepada jantung setiap degupnya.


Dalam kasus saya, saya meminta maaf atas segala kesalahan saya, baik yang disengaja ataupun yang tidak disengaja. Saya meminta maaf kepada korban, polisi yang saya pecahkan kaca kantor posnya, dan saya memaafkan kalian yang telah menerorr saya dan kawan-kawan saya dan rakyat Indonesia. Saya meminta maaf kepada diri saya sendiri, yang tak bisa mengikuti akal sehat dan nurani saat di mana saya meluapkan segala emosi, kecemasan, kemarahan,  ketakutan dan juga kemuakan melihat ketidakadilan di negeri ini.


Hari ini adalah proses pembelaan sebelum putusan hakim di mana hukum berjalan secara struktural, DAN SEHARUSNYA menempatkan keadilan di posisi terdepan. Pengerusakan adalah bentuk yang tidak bisa dibenarkan di mana orang-orang berontak karena kemarahan dan kecemasan. Tidak boleh orang membenarkan ketika sumber pengerusakan adalah bentuk perasaan-perasaan yang semestinya tidak perlu dipenjarakan. Perasaan harus bebas dari kotornya politik, kotornya kepentingan kekuasaan. Perasaan terbentuk dari menilai, melihat dan mengadili atas dasar pertimbangan-pertimbangan tolak-ukur perasaan dan kebiasaan. Keadilan semestinya bukan sekadar menghakimi, akan tetap memberikan pelajaran yang besar agar orang-orang dapat mengikuti kebenaran dan menjadikannya sebagai jalan kehidupan. Apabila pengadilan hanya berpaku pada menghakimi ketimbang memberikan satu upaya pencegahan den pembebasan perasaan yang terpenjara baik secara sosial maupun personal. Maka keadilan itu tidak lebih dari senjata bagi kaum-kaum orang yang punya kuasa dan harta.


Penjara adalah tempatnya orang-orang yang dianggap warga binaan, bukan warga siksaan. Meliahat penjara hari ini, merupakan penjara untuk hukuman yang menindas, bukan hukuman yang adil dan manusiawi. Makanan, Uang, dan Kekerasan bersarang di penjara. Rumah sakit yang dianggap penjara dari abad lalu, sekarang Penjara menjadi sumber penyakitnya. Selain Lembaga Permasyarakatan, Lembaga keadilan pun tak kunjung memberikan keadilan kepada korban-korban negara. Munir, Udin, Wiji Thukul dan juga 1 Juta orang yang dibantai tentara dan sekutunya untuk menghabisi rakyat di tahun 1965 dan juga tewasnya mahasiswa, hilangnya aktivis massa di tahun 1998 pun tidak bisa terselesaikan sampai detik ini. Hukum kita penuh pertimbangan politik ketimbang pertimbangan rasa kemanusiaan kita. Sampai detik saya berdiri di sini, berapa banyak korban oleh Kepolisian di berbagai daerah perihal konflik tanah antara korporat dengan masyarakat adat. Berapa banyak kawanku yang harus ditembak mati di daerah-daerah ketika mengekspresikan protes terhadap negara tentang rusaknya lingkungan hidup, tentang korupsi, tentang kesetaraan, tentang penindasan kaum pekerja, protes tentang hal-hal yang menjadi kecemasan dan keresahan kita. Masyarakat adat ada sebelum negara ini lahir, apabila pembangunan itu dikhendaki negara dalam hal ini para penyelenggara negara di eksekutif. Sudah seharusnya izin dan berdialog kepada masyarakat adat, bukan dengan solusi uang ataupun mempenjarakan mereka agar mereka hendak pergi dari tanahnya. Tanah-tanah mereka yang dibutuhkan korporasi tambang dan perkebunan.


Selain itu, tingkat kekerasan kepolisian terhadap masyarakat sebanding dengan tingkat tingginya kepuasan masyarakat terhadap institusi kepolisian. Kepuasan di sini bukanlah hadir begitu saja, ini ada upaya framing untuk menutupi sejarah bagaimana polisi kerap memeras rakyat, main hakim sendiri mendahului pengadilan, dan juga memanfaatkan kekuasaan yang macois, maskulin untuk menindas segalanya dalam hal ini mengayomi dan melindungi lagi-lagi orang yang punya tahta dan harta.  


Dengan demikian, melalui pembacaan ini, saya berharap ada keadilan dan hal-hal yang majelis hakim pertimbangkan terhadap situasi saya saat itu. Apapun putusannya saya akan menerima dengan iklas lapang dada sebab yang sejatinya keadilan hanya milik alam yang bekerja sesuai ketidakteraturan yang teraturnya. Mungkin saya terlalu mencintai kehidupan dan tidak pernah takut dengan kematian, akan tetapi saya selalu gemetar dengan bayangan setelah-kematian. Semoga ini pelajaran bagi perjuangan hidup saya, sekaligus menjadi saksi bahwa saya pernah berjuang, sekali berjuang tetaplah berjuang meski maut di hadapan menghadang.


Pledoi 21 Desember 2021, PN Sleman, DIY, Indonesia

Syahdan Husein

Previous PostPosting Lama Beranda

0 Komentar

Posting Komentar