Hardiknas dan Pedagogi Pembebasan

No Comments



 
Hardiknas dan Pedagogi Pembebasan
Oleh: Syahdan Husein


      Pendidikan adalah salah satu hak asasi manusia yang paling dasar, namun hal tersebut masih amat jauh bagi masyarakat Indonesia, khususnya dalam menempuh pendididkan tinggi. Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) ditetapkan sesuai dengan tanggal kelahiran sang pelopor  pendidikan nasional Ki Hadjar Dewantara pada tanggal 2 Mei 1889. Institusi yang berkaitan dengan pendidikan setiap tahunnya menyelenggarakan upacara bendera dalam menyambut Hardiknas. Selama ini upacara bendera sebagai formalitas saja, sekadar seremonial yang diisi oleh pidato-pidato motivasi-renungan ketimbang suatu aksi yang menunjukan keseriusan untuk mengarahkan pemerataan akses pendidikan secara nasional.
   
      Tujuan pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara yaitu membentuk manusia merdeka berdasarkan keselarasan kemerdekaan individu dan kepentingan kolektif dengan asas kekeluargaan. Asas kekeluargaan tidak membenarkan adanya diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, antar golongan dan ideologi seseorang. Kemerdekaan tersebut tidak pula membenarkan kesewenang-wenangan manusia terhadap manusia lain dan suatu bangsa terhadap bangsa lain yang menjadi sumber feodalisme dan kapitalisme. (Baca: Moh. Said dalam Pusara 1963). Kebebasan individu demi kepentingan kolektif adalah suatu tujuan untuk membebaskan yang lainnya dari kurungan tindakan pembodohan the upper class kepada the lower class. Dengan demikian, kecerdasan dan kebutuhan masyarakat lebih diutamakan daripada kepentingan segelintir golongan.
   
      Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada kelompok usia 24 tahun, penduduk perkotaan melanjutkan pendidikan tinggi sebesar 25,98 persen sementara di pedesaan hanya 10,95 persen, angka ini menunjukan baru sebagian kecil penduduk yang mengenyam jenjang pendidikan tinggi. Artinya, negara belum berhasil mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai yang tertera dalam UUD 1945. Menurut Koran kompas dengan judul “Pendidikan Kunci Daya Saing“ (2/5/2017) redaksi kompas menulis, bahwa: “Indonesia menempati urutan ke-110 dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yaitu dibentuk dengan berdasarkan indikator angka harapan hidup, melek huruf, rata-rata lama sekolah, dan kemampuan daya beli. Indikator kedua dan ketiga berhubungan dengan capaian pembangunan di bidang pendidikan”. Indonesia juga berada di posisi tingkat literasi paling buruk dalam survei komptensi dewasa atau Programme for the International of Asseessment of Adult Competencies (PIACC) tahun 2016. Hal tersebut mencerminkan betapa gagalnya kebijakan pendidikan beberapa dekade di Indonesia.
   
      Di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, misi Nawa Citanya menargetkan Revolusi Karakter Bangsa melalui Pendidikan. Akan tetapi, bertepatan dengan momentum Hardiknas, mahasiswa dan tenaga pendidik/dosen melakukan aksi demonstrasi dengan pelbagai tuntutan yang berbeda-beda di masing-masing kampus seperti UGM, UI, UB, UNPAD, UNSOED UPN-YK, UNS, UMY, UNMUL, UNAND, UNM,  dan aliansi-aliansi di kota-kota besar seperti Semarang, Medan dan Makasar. Sepanjang bulan Mei, hal serupa terjadi di Untirta, Politeknik Negri Bandung, UIN Jakarta dan UNJ. Secara bersamaan mereka mengangkat wacana Revolusi Pendidikan dan tolak komersialisasi pendidikan di Indonesia. Hal ini menunjukan bahwa pendidikan di Indonesia sedang bermasalah.
   
      Faktor-faktor penting yang mendukung gagalnya negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, yaitu peran pendidik dan kebijakan neoliberal. George Orwell dalam Mereka yang Tertindas menuliskan “Seorang pendidik adalah orang yang menolak untuk memerkosa nuraninya sendiri”. Seorang pendidik lebih mengutamakan nuraninya ketimbang mengutamakan yang lainnya. Asumsi yang berkembang sekarang ini bahwa seseorang menjadi guru hanya ingin mengejar staus PNS. Begitu juga dengan dosen di perguruan tinggi, mereka kerap disibukan dengan proyek-proyek untuk keuntungan dirinya semata. Hal ini tentu tidak dapat dibenarkan. Oleh karena itu, penulis merasa bahwa pedagogi pembebasan (liberative pedagogy) adalah kunci untuk merubah kondisi buruk yang terjadi pada bangsa kita. Pedagogi pembebasan dapat dijadikan sebagai titik temu bagi pendidik dan peserta didik demi mewujudkan Revolusi Pendidikan Indonesia ke depan.
   
      Mengutip Greene dalam Irawan (2017) “The capacity to invent vision of what should be and what might be in our deficient society, on the street where we live, in our school”  menurut Irawan, Pedagogi pembebasan adalah salah satu penompang penting bagi tumbuh suburnya kebebasan akademik sebuah conditioned freedom (kebebasan yang terkondisi). Pedagogi pembebasan haruslah berakar pada pembentukan imajinasi sosial yang baru, yang lebih manusiawi, lebih adil. Rasionalitas kritis tetap memiliki fungsi untuk mendobrak narasi versi yang dominan dan mengubahnya dengan narasi baru sebagai dasar acuannya. Jadi, Perlu adanya perspektif baru dalam pendidikan kita saat ini, tidak melulu befungsi untuk mencari kerja, kerja dan kerja.
   
      Hal yang terjadi menurut Donoghue, perguruan tinggi lebih tergerak untuk masuk pada pragmatisme menjawab kepentingan dunia usaha. Patokan lulusan ideal adalah seberapa cepat dan seberapa besar persentase terserapnya lulusan di pasar kerja. Perguruan tinggi melulu dipahami sebagai tenaga bagi mobilitas sosial. Cita-cita pendidikan humanis (liberal) yang sangat kuat sejak abad pertengahan mulai dipertanyakan secara serius ketika kriteria keberhasilan adalah efficiency and cost effectiveness. Universitas tak lagi malu-malu menyebut diri sebagai korporasi. Hal tersebut menurut Irawan menjadikan pendidik berpikir dua kali untuk mengangkat isu-isu kontroversial di ruang kelas. Hal ini pula menyebabkan sensor yang sebelumnya berada ruang kelas (administrasi, negara, agama), sekarang sensor itu berada di dalam diri (self-censorship) pendidik. Di samping itu, pedagogi pembebasan yang dikatakan Freire dkk. dalam Irawan, membawa peserta didik ke dalam inti realitas, terlibat dengan realitas secara kritis untuk mencari akar-akar ketidakadilan dan penindasan, dan terutama membiarkan diri dibasuh oleh realitas historis sehingga perjumpaan dengan realitas akan membentuk visi mereka tentang kehidupan dan hidup bersama dalam komunitas.
   
      Dilts berpendapat, bagi kalangan pendidik orang dewasa yang berkepentingan untuk melakukan aksi pembebasan, tidaklah cukup ia mendatangkan “lahan” atau “kebutuhan-kebutuhan yang terungkap”: ini hanya satu titik awal untuk mengetahui sebab-sebab utama akan kebutuhan persoalan itu. Persoalan-persoalan kemanusiaan sedapat mungkin kita lihat dalam dimensi yang baru, dan kemudian dikaitkan dengan persoalan-persoalan rakyat yang lebih luas sebagai awal dari sebuah analisis yang lebih luas untuk melakukan aksi. Dengan demikian, ketidakadilan, kebodohan dan kemiskinan, yang terjadi secara struktural di Indonesia perlu dilihat dari sudut pandang yang mutakhir dan mampu membentuk paradigma baru bagi pendidikan Indonesia yang membebaskan, bukan hanya sekadar alat mobilitas sosial.
   
      Menurut Freire struktur institusi pendidikan merupakan sarana dan alat sangat strategis untuk mempertahankan dan menyebarluaskan penindasan kognitif. Hal itu nampak, antara lain, dalam hubungan pendidik-pesertadidik yang searah dan otoriter, cara mengajar yang monologis, bahan pelajaran yang tidak menanggapi situasi rakyat tertindas, melainkan disampaikan seperti barang-barang jadi, dan sebagainya. Hal ini mematikan daya kritis dan imajinasi peserta didik baik dalam proses ajar-mengajar maupun di kehidupannya. Selaras dengan apa yang dianggap oleh Freire sebagai kebudayaan bisu.
   
Freire berpandangan bahwa “Kebudayaan bisu” menciptakan mekanisme sosial-psikologis yang terjadi pada rakyat kecil disebabkan dan dilestarikan oleh struktur penindasan. Penindasan itu meresapi keseluruhan hidup rakyat kecil sampai pada akar-akarnya. Kesadaran dan mental rakyat kecil pun telah diperbudak dan dipalsukan oleh semboyan-semboyan dan ideologi kaum penindas. Rakyat kecil seolah-olah melihat dirinya sendri dengan kaca mata kaum penindas, artinya sesuai dengan cara pengelihatan serta kepentingan-kepentingan golongan elite yang akan condong membenarkan situasi apa adanya (status-quo). Sebagai legitimasi, misalnya, orang kecil dicap sebagai tradisional, terbelakang dan bodoh, sebagaimana tadi sudah disinggung, sedangkan kekayaan orang gede didalihkan sebagai imbalan prestasi mereka. Dengan demikian, rakyat tertindas tidak sanggup lagi untuk menyadari keadaanya yang sebenarnya dan oleh sebab itu juga tidak dapat mengubahnya (Muller, 1980).

PERISTIWA PERGOLAKAN PENDIDIKAN

      Peristiwa pergolakan pendidikan pernah terjadi di negara Australia, Inggris, Belanda, dan yang cukup besar adalah Chile. Pada tanggal 21 Agustus 2014, puluhan ribu pelajar dan buruh di kota Santiago turun ke jalan untuk menuntut free education. Para pelajar dan buruh berhasil memperjuangkan biaya kuliah gratis pada tahun 2016. Sejarah peristiwa besar yang lebih lama adalah gerakan Mei 1968 di Perancis. Aksi menduduki kampus diprakarsai oleh pelajar dan diikuti mogok buruh. Menurut Jean Couteau, peristiwa tersebut telah berhasil menelanjangi masalah-masalah zaman dan melahirkan sebagian yang cukup besar dari pemikiran-pemikiran modern Perancis. Universitas di Perancis seperti Strasbourg, Nannterre dan Sorbone menjadi otonom pasca Mei 1968. Khususnya dalam ranah pendidikan, gerakan Mei 1968 mewariskan tiga hal, yaitu hubungan dosen-mahasiswa yang lebih baru dan lebih sehat; otonomi lokal dalam ukuran tertentu pada tingkat fakultas dan universitas provinsi; pengikutsertaan mahasiswa secara luas dalam merencakan dan menjalankan studi mereka.
   
Peristiwa reformasi juga terjadi di Indonesia pada gerakan Mei 1998. Gerakan reformasi berhasil menumbangkan kekuasaan Soeharto yang otoriter dan koruptif. Salah satu perubahan yang terjadi dalam pendidikan yaitu universitas menjadi otonom pasca Mei 1998. Gerakan Mei di Perancis dan di Indonesia telah berhasil membebaskan universitas dari cengkraman intervensi otoritarian dan lebih demokratis dalam menentukan segala kebijakan di  kampus. Akan tetapi, melihat kondisi terkini, otonomi kampus di Indonesia dirasa hanya menggantikan posisi pemerintah yatitu sebagai pihak penekan daya kritis dan imanjinasi, dibuktikan dengan banyaknya kasus pemberian surat peringatan kepada mahasiswa dan kasus keputusan rektor men-droup out mahasiswa yang mengkritisi kebijakannya, bahkan yang terkini adalah kasus salah satu dosen UNJ yang menulis kritik berjudul “Wajah Kampus Mulai Bopeng?” dilaporkan ke polisi oleh rektor UNJ beberapa waktu lalu. Hal ini terlihat bagaimana kebebasan berpendapat tidak dapat terjamin di institusi pendidikan setingkat perguruan tinggi.

      Peristiwa Mei—Juni 1968 di Perancis telah menyadarkan banyak kaum intelektual tentang hakekat keilmuan yang perlu dikembalikan kepada kepentingan rakyat bukan ilmu untuk ilmu. “Di sini, imajinasi berkuasa” adalah coretan yang tertulis di tembok-tembok fakultas sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah yang represif, bahkan muncul istilah “dilarang untuk melarang” adalah salah satu slogan kunci yang tertulis di tembok-tembok Unversitas Sorbonne. Peristiwa reformasi di Indonesia tidak terjadi seperti apa di Prancis, negara serta kaum intelektual cenderung mendukung arah kebijakan pendidikan yang neoliberal dan tindakan-tindakan represif terhadap peserta-didik di sekolah dan kampus.
   
      Menurut Darmaningntyas, neoliberal memandang peserta-didik sebagai modal manusia (human capital), disiapkan sebagai calon pekerja yang harus dibekali keterampilan sebagaimana dibutuhkan dunia kerja. Dengan upaya neoliberalisasi yang dilakukan pemerintah di bidang pendidikan, peran negara dalam pembiayaan pendidikan pun terus didorong dan diperkecil dan bahkan dihilangkan, sedangkan peran perusahaan (korporasi) diperbesar. Dalam hal ini, Indonesia adalah salah satu negara yang menanda-tangani perjanjian World Trade Organization (WTO) yang turut serta mengikuti Kesepakatan General Agreement on Trade in Service (GATS) di mana pendidikan ditetapkan sebagai barang yang dapat diperjual-belikan dalam pasar global. Setelah itu mengeluarkan UU. No 25 Tahun 2007 tentang penanaman modal di era Presiden Susilo Bambang Yudiono (SBY) dan menyatakan bahwa pendidikan termasuk sektor yang terbuka bagi penanaman modal asing. Hal ini menurut Darmaningntyas adalah bentuk korporatisasi pendidikan dan menggeser paradigma ilmu pengetahuan menjadi komoditas sehingga menshahihkan komersialisasi yang kapitalistik.
   
Darmaningtyas juga berasumsi, semulanya masyarakat berharap agar reformasi politik akan membawa perbaikan pada sistem maupun praksis pendidikan nasional. Akan tetapi, sampai saat ini ternyata kondisinya tidak berubah, malah semakin kompleks. Upaya untuk menciptakan suatu sistem pendidikan yang mencerdaskan dan sekaligus membebaskan masyarakat dari belenggu kemiskinan, kebodohan, dan kesengsaraan itu dapat terwujud, manakala institusi pendidikan nasional tidak terlalu banyak dibebani oleh pelbagai program titipan, termasuk di dalamnya indoktrinasi ideologi dan politik untuk kepentingan penguasa maupun kaum agamawan, serta menompang kebutuhan industri dalam negri. Pendidikan sungguh-sungguh harus dibuat netral dari segala unsur kepentingan politik dan pasar.

      Dengan demikian, pedagogi pembebasan perlu digaungkan kepada setiap pendidik dan peserta didik yang sadar akan kondisi buruk pendidikan anak bangsa saat ini. Demi terciptanya kemajuan, keadilan dan kesejateraan, class struggle dan struggle in class perlu dijadikan sebagai pedoman bagi pendidik dan peserta didik. Menurut Lubis, hal yang prinsipal dari fungsi pendidikan adalah agar manusia itu bisa mengenali dirinya, sebagai subyek bukan obyek. Keberpihakan pendidikan pada the upper class seperti yang terjadi sekarang jelas tidak manusiawi dan lebih dari itu adalah suatu kejahatan (crime). Oleh karena itu, Hardiknas seharusnya tidak melulu sekadar upacara seremonial yang formalitas semata, tetapi kita jadikan momentum perjuangan untuk mengembalikan pendidikan Indonesia yang semakin neolib kepada cita-cita luhur yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan melepaskan diri dari cengkraman kapitalisme. Perlunya juga bagi pendidik dan peserta didik untuk memperjelas posisi keberpihakannya demi mewujudkan Revolusi Pendidikan sebagai jalan pembebasan.


DAFTAR PUSTAKA

Darmaningtyas. 2015. Pendidikan yang  Memiskinkan. Malang: Intrans Publishing.

Darmaningtyas. 2014. Melawan Liberalisasi Pendidikan. Malang: Madani.
.
Dilts, Russ. 1986. “Latihan: Menyekolahkan Kembali Masyarakat” dalam Majalah Prisma.
Jakarta: LP3ES.
Irawan, Paulus Bambang. 2017. “Kebebasan Akademik, Pedagogi Pembebasan, dan Narasi
Sosial” dalam Majalah Basis. Jakarta: Yayasan BP Basis.

Lubis, T. Mulya. 1980. “Pendidikan untuk Apa?” dalam Majalah Prisma. Jakarta :LP3ES.

Muller, Johannes. 1980. “Pendidikan Sebagai Jalan Pembebasan Manusia dari Cengkraman
Kemelaratan?” dalam Majalah Prisma. Jakarta: LP3ES.

Said, Mohammad. 1963. “Dua Mei, Hari Pendidikan Nasional” dalam Majalah Pusara.
            Yogyakarta: Persatuan Taman Siswa.

Seale, Patrick & McConville, Mauren. 2000. Pemberontakan Mahasiswa Revolusi Prancis, Mei
 1968. Yogyakarta: Yayasan Litera Indonesia.

.

Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 Komentar

Posting Komentar