Hardiknas dan Pedagogi Pembebasan
Oleh: Syahdan Husein


      Pendidikan adalah salah satu hak asasi manusia yang paling dasar, namun hal tersebut masih amat jauh bagi masyarakat Indonesia, khususnya dalam menempuh pendididkan tinggi. Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) ditetapkan sesuai dengan tanggal kelahiran sang pelopor  pendidikan nasional Ki Hadjar Dewantara pada tanggal 2 Mei 1889. Institusi yang berkaitan dengan pendidikan setiap tahunnya menyelenggarakan upacara bendera dalam menyambut Hardiknas. Selama ini upacara bendera sebagai formalitas saja, sekadar seremonial yang diisi oleh pidato-pidato motivasi-renungan ketimbang suatu aksi yang menunjukan keseriusan untuk mengarahkan pemerataan akses pendidikan secara nasional.
   
      Tujuan pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara yaitu membentuk manusia merdeka berdasarkan keselarasan kemerdekaan individu dan kepentingan kolektif dengan asas kekeluargaan. Asas kekeluargaan tidak membenarkan adanya diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, antar golongan dan ideologi seseorang. Kemerdekaan tersebut tidak pula membenarkan kesewenang-wenangan manusia terhadap manusia lain dan suatu bangsa terhadap bangsa lain yang menjadi sumber feodalisme dan kapitalisme. (Baca: Moh. Said dalam Pusara 1963). Kebebasan individu demi kepentingan kolektif adalah suatu tujuan untuk membebaskan yang lainnya dari kurungan tindakan pembodohan the upper class kepada the lower class. Dengan demikian, kecerdasan dan kebutuhan masyarakat lebih diutamakan daripada kepentingan segelintir golongan.
   
      Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada kelompok usia 24 tahun, penduduk perkotaan melanjutkan pendidikan tinggi sebesar 25,98 persen sementara di pedesaan hanya 10,95 persen, angka ini menunjukan baru sebagian kecil penduduk yang mengenyam jenjang pendidikan tinggi. Artinya, negara belum berhasil mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai yang tertera dalam UUD 1945. Menurut Koran kompas dengan judul “Pendidikan Kunci Daya Saing“ (2/5/2017) redaksi kompas menulis, bahwa: “Indonesia menempati urutan ke-110 dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yaitu dibentuk dengan berdasarkan indikator angka harapan hidup, melek huruf, rata-rata lama sekolah, dan kemampuan daya beli. Indikator kedua dan ketiga berhubungan dengan capaian pembangunan di bidang pendidikan”. Indonesia juga berada di posisi tingkat literasi paling buruk dalam survei komptensi dewasa atau Programme for the International of Asseessment of Adult Competencies (PIACC) tahun 2016. Hal tersebut mencerminkan betapa gagalnya kebijakan pendidikan beberapa dekade di Indonesia.
   
      Di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, misi Nawa Citanya menargetkan Revolusi Karakter Bangsa melalui Pendidikan. Akan tetapi, bertepatan dengan momentum Hardiknas, mahasiswa dan tenaga pendidik/dosen melakukan aksi demonstrasi dengan pelbagai tuntutan yang berbeda-beda di masing-masing kampus seperti UGM, UI, UB, UNPAD, UNSOED UPN-YK, UNS, UMY, UNMUL, UNAND, UNM,  dan aliansi-aliansi di kota-kota besar seperti Semarang, Medan dan Makasar. Sepanjang bulan Mei, hal serupa terjadi di Untirta, Politeknik Negri Bandung, UIN Jakarta dan UNJ. Secara bersamaan mereka mengangkat wacana Revolusi Pendidikan dan tolak komersialisasi pendidikan di Indonesia. Hal ini menunjukan bahwa pendidikan di Indonesia sedang bermasalah.
   
      Faktor-faktor penting yang mendukung gagalnya negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, yaitu peran pendidik dan kebijakan neoliberal. George Orwell dalam Mereka yang Tertindas menuliskan “Seorang pendidik adalah orang yang menolak untuk memerkosa nuraninya sendiri”. Seorang pendidik lebih mengutamakan nuraninya ketimbang mengutamakan yang lainnya. Asumsi yang berkembang sekarang ini bahwa seseorang menjadi guru hanya ingin mengejar staus PNS. Begitu juga dengan dosen di perguruan tinggi, mereka kerap disibukan dengan proyek-proyek untuk keuntungan dirinya semata. Hal ini tentu tidak dapat dibenarkan. Oleh karena itu, penulis merasa bahwa pedagogi pembebasan (liberative pedagogy) adalah kunci untuk merubah kondisi buruk yang terjadi pada bangsa kita. Pedagogi pembebasan dapat dijadikan sebagai titik temu bagi pendidik dan peserta didik demi mewujudkan Revolusi Pendidikan Indonesia ke depan.
   
      Mengutip Greene dalam Irawan (2017) “The capacity to invent vision of what should be and what might be in our deficient society, on the street where we live, in our school”  menurut Irawan, Pedagogi pembebasan adalah salah satu penompang penting bagi tumbuh suburnya kebebasan akademik sebuah conditioned freedom (kebebasan yang terkondisi). Pedagogi pembebasan haruslah berakar pada pembentukan imajinasi sosial yang baru, yang lebih manusiawi, lebih adil. Rasionalitas kritis tetap memiliki fungsi untuk mendobrak narasi versi yang dominan dan mengubahnya dengan narasi baru sebagai dasar acuannya. Jadi, Perlu adanya perspektif baru dalam pendidikan kita saat ini, tidak melulu befungsi untuk mencari kerja, kerja dan kerja.
   
      Hal yang terjadi menurut Donoghue, perguruan tinggi lebih tergerak untuk masuk pada pragmatisme menjawab kepentingan dunia usaha. Patokan lulusan ideal adalah seberapa cepat dan seberapa besar persentase terserapnya lulusan di pasar kerja. Perguruan tinggi melulu dipahami sebagai tenaga bagi mobilitas sosial. Cita-cita pendidikan humanis (liberal) yang sangat kuat sejak abad pertengahan mulai dipertanyakan secara serius ketika kriteria keberhasilan adalah efficiency and cost effectiveness. Universitas tak lagi malu-malu menyebut diri sebagai korporasi. Hal tersebut menurut Irawan menjadikan pendidik berpikir dua kali untuk mengangkat isu-isu kontroversial di ruang kelas. Hal ini pula menyebabkan sensor yang sebelumnya berada ruang kelas (administrasi, negara, agama), sekarang sensor itu berada di dalam diri (self-censorship) pendidik. Di samping itu, pedagogi pembebasan yang dikatakan Freire dkk. dalam Irawan, membawa peserta didik ke dalam inti realitas, terlibat dengan realitas secara kritis untuk mencari akar-akar ketidakadilan dan penindasan, dan terutama membiarkan diri dibasuh oleh realitas historis sehingga perjumpaan dengan realitas akan membentuk visi mereka tentang kehidupan dan hidup bersama dalam komunitas.
   
      Dilts berpendapat, bagi kalangan pendidik orang dewasa yang berkepentingan untuk melakukan aksi pembebasan, tidaklah cukup ia mendatangkan “lahan” atau “kebutuhan-kebutuhan yang terungkap”: ini hanya satu titik awal untuk mengetahui sebab-sebab utama akan kebutuhan persoalan itu. Persoalan-persoalan kemanusiaan sedapat mungkin kita lihat dalam dimensi yang baru, dan kemudian dikaitkan dengan persoalan-persoalan rakyat yang lebih luas sebagai awal dari sebuah analisis yang lebih luas untuk melakukan aksi. Dengan demikian, ketidakadilan, kebodohan dan kemiskinan, yang terjadi secara struktural di Indonesia perlu dilihat dari sudut pandang yang mutakhir dan mampu membentuk paradigma baru bagi pendidikan Indonesia yang membebaskan, bukan hanya sekadar alat mobilitas sosial.
   
      Menurut Freire struktur institusi pendidikan merupakan sarana dan alat sangat strategis untuk mempertahankan dan menyebarluaskan penindasan kognitif. Hal itu nampak, antara lain, dalam hubungan pendidik-pesertadidik yang searah dan otoriter, cara mengajar yang monologis, bahan pelajaran yang tidak menanggapi situasi rakyat tertindas, melainkan disampaikan seperti barang-barang jadi, dan sebagainya. Hal ini mematikan daya kritis dan imajinasi peserta didik baik dalam proses ajar-mengajar maupun di kehidupannya. Selaras dengan apa yang dianggap oleh Freire sebagai kebudayaan bisu.
   
Freire berpandangan bahwa “Kebudayaan bisu” menciptakan mekanisme sosial-psikologis yang terjadi pada rakyat kecil disebabkan dan dilestarikan oleh struktur penindasan. Penindasan itu meresapi keseluruhan hidup rakyat kecil sampai pada akar-akarnya. Kesadaran dan mental rakyat kecil pun telah diperbudak dan dipalsukan oleh semboyan-semboyan dan ideologi kaum penindas. Rakyat kecil seolah-olah melihat dirinya sendri dengan kaca mata kaum penindas, artinya sesuai dengan cara pengelihatan serta kepentingan-kepentingan golongan elite yang akan condong membenarkan situasi apa adanya (status-quo). Sebagai legitimasi, misalnya, orang kecil dicap sebagai tradisional, terbelakang dan bodoh, sebagaimana tadi sudah disinggung, sedangkan kekayaan orang gede didalihkan sebagai imbalan prestasi mereka. Dengan demikian, rakyat tertindas tidak sanggup lagi untuk menyadari keadaanya yang sebenarnya dan oleh sebab itu juga tidak dapat mengubahnya (Muller, 1980).

PERISTIWA PERGOLAKAN PENDIDIKAN

      Peristiwa pergolakan pendidikan pernah terjadi di negara Australia, Inggris, Belanda, dan yang cukup besar adalah Chile. Pada tanggal 21 Agustus 2014, puluhan ribu pelajar dan buruh di kota Santiago turun ke jalan untuk menuntut free education. Para pelajar dan buruh berhasil memperjuangkan biaya kuliah gratis pada tahun 2016. Sejarah peristiwa besar yang lebih lama adalah gerakan Mei 1968 di Perancis. Aksi menduduki kampus diprakarsai oleh pelajar dan diikuti mogok buruh. Menurut Jean Couteau, peristiwa tersebut telah berhasil menelanjangi masalah-masalah zaman dan melahirkan sebagian yang cukup besar dari pemikiran-pemikiran modern Perancis. Universitas di Perancis seperti Strasbourg, Nannterre dan Sorbone menjadi otonom pasca Mei 1968. Khususnya dalam ranah pendidikan, gerakan Mei 1968 mewariskan tiga hal, yaitu hubungan dosen-mahasiswa yang lebih baru dan lebih sehat; otonomi lokal dalam ukuran tertentu pada tingkat fakultas dan universitas provinsi; pengikutsertaan mahasiswa secara luas dalam merencakan dan menjalankan studi mereka.
   
Peristiwa reformasi juga terjadi di Indonesia pada gerakan Mei 1998. Gerakan reformasi berhasil menumbangkan kekuasaan Soeharto yang otoriter dan koruptif. Salah satu perubahan yang terjadi dalam pendidikan yaitu universitas menjadi otonom pasca Mei 1998. Gerakan Mei di Perancis dan di Indonesia telah berhasil membebaskan universitas dari cengkraman intervensi otoritarian dan lebih demokratis dalam menentukan segala kebijakan di  kampus. Akan tetapi, melihat kondisi terkini, otonomi kampus di Indonesia dirasa hanya menggantikan posisi pemerintah yatitu sebagai pihak penekan daya kritis dan imanjinasi, dibuktikan dengan banyaknya kasus pemberian surat peringatan kepada mahasiswa dan kasus keputusan rektor men-droup out mahasiswa yang mengkritisi kebijakannya, bahkan yang terkini adalah kasus salah satu dosen UNJ yang menulis kritik berjudul “Wajah Kampus Mulai Bopeng?” dilaporkan ke polisi oleh rektor UNJ beberapa waktu lalu. Hal ini terlihat bagaimana kebebasan berpendapat tidak dapat terjamin di institusi pendidikan setingkat perguruan tinggi.

      Peristiwa Mei—Juni 1968 di Perancis telah menyadarkan banyak kaum intelektual tentang hakekat keilmuan yang perlu dikembalikan kepada kepentingan rakyat bukan ilmu untuk ilmu. “Di sini, imajinasi berkuasa” adalah coretan yang tertulis di tembok-tembok fakultas sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah yang represif, bahkan muncul istilah “dilarang untuk melarang” adalah salah satu slogan kunci yang tertulis di tembok-tembok Unversitas Sorbonne. Peristiwa reformasi di Indonesia tidak terjadi seperti apa di Prancis, negara serta kaum intelektual cenderung mendukung arah kebijakan pendidikan yang neoliberal dan tindakan-tindakan represif terhadap peserta-didik di sekolah dan kampus.
   
      Menurut Darmaningntyas, neoliberal memandang peserta-didik sebagai modal manusia (human capital), disiapkan sebagai calon pekerja yang harus dibekali keterampilan sebagaimana dibutuhkan dunia kerja. Dengan upaya neoliberalisasi yang dilakukan pemerintah di bidang pendidikan, peran negara dalam pembiayaan pendidikan pun terus didorong dan diperkecil dan bahkan dihilangkan, sedangkan peran perusahaan (korporasi) diperbesar. Dalam hal ini, Indonesia adalah salah satu negara yang menanda-tangani perjanjian World Trade Organization (WTO) yang turut serta mengikuti Kesepakatan General Agreement on Trade in Service (GATS) di mana pendidikan ditetapkan sebagai barang yang dapat diperjual-belikan dalam pasar global. Setelah itu mengeluarkan UU. No 25 Tahun 2007 tentang penanaman modal di era Presiden Susilo Bambang Yudiono (SBY) dan menyatakan bahwa pendidikan termasuk sektor yang terbuka bagi penanaman modal asing. Hal ini menurut Darmaningntyas adalah bentuk korporatisasi pendidikan dan menggeser paradigma ilmu pengetahuan menjadi komoditas sehingga menshahihkan komersialisasi yang kapitalistik.
   
Darmaningtyas juga berasumsi, semulanya masyarakat berharap agar reformasi politik akan membawa perbaikan pada sistem maupun praksis pendidikan nasional. Akan tetapi, sampai saat ini ternyata kondisinya tidak berubah, malah semakin kompleks. Upaya untuk menciptakan suatu sistem pendidikan yang mencerdaskan dan sekaligus membebaskan masyarakat dari belenggu kemiskinan, kebodohan, dan kesengsaraan itu dapat terwujud, manakala institusi pendidikan nasional tidak terlalu banyak dibebani oleh pelbagai program titipan, termasuk di dalamnya indoktrinasi ideologi dan politik untuk kepentingan penguasa maupun kaum agamawan, serta menompang kebutuhan industri dalam negri. Pendidikan sungguh-sungguh harus dibuat netral dari segala unsur kepentingan politik dan pasar.

      Dengan demikian, pedagogi pembebasan perlu digaungkan kepada setiap pendidik dan peserta didik yang sadar akan kondisi buruk pendidikan anak bangsa saat ini. Demi terciptanya kemajuan, keadilan dan kesejateraan, class struggle dan struggle in class perlu dijadikan sebagai pedoman bagi pendidik dan peserta didik. Menurut Lubis, hal yang prinsipal dari fungsi pendidikan adalah agar manusia itu bisa mengenali dirinya, sebagai subyek bukan obyek. Keberpihakan pendidikan pada the upper class seperti yang terjadi sekarang jelas tidak manusiawi dan lebih dari itu adalah suatu kejahatan (crime). Oleh karena itu, Hardiknas seharusnya tidak melulu sekadar upacara seremonial yang formalitas semata, tetapi kita jadikan momentum perjuangan untuk mengembalikan pendidikan Indonesia yang semakin neolib kepada cita-cita luhur yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan melepaskan diri dari cengkraman kapitalisme. Perlunya juga bagi pendidik dan peserta didik untuk memperjelas posisi keberpihakannya demi mewujudkan Revolusi Pendidikan sebagai jalan pembebasan.


DAFTAR PUSTAKA

Darmaningtyas. 2015. Pendidikan yang  Memiskinkan. Malang: Intrans Publishing.

Darmaningtyas. 2014. Melawan Liberalisasi Pendidikan. Malang: Madani.
.
Dilts, Russ. 1986. “Latihan: Menyekolahkan Kembali Masyarakat” dalam Majalah Prisma.
Jakarta: LP3ES.
Irawan, Paulus Bambang. 2017. “Kebebasan Akademik, Pedagogi Pembebasan, dan Narasi
Sosial” dalam Majalah Basis. Jakarta: Yayasan BP Basis.

Lubis, T. Mulya. 1980. “Pendidikan untuk Apa?” dalam Majalah Prisma. Jakarta :LP3ES.

Muller, Johannes. 1980. “Pendidikan Sebagai Jalan Pembebasan Manusia dari Cengkraman
Kemelaratan?” dalam Majalah Prisma. Jakarta: LP3ES.

Said, Mohammad. 1963. “Dua Mei, Hari Pendidikan Nasional” dalam Majalah Pusara.
            Yogyakarta: Persatuan Taman Siswa.

Seale, Patrick & McConville, Mauren. 2000. Pemberontakan Mahasiswa Revolusi Prancis, Mei
 1968. Yogyakarta: Yayasan Litera Indonesia.

.

Read More

Njoto adalah seorang politikus, publisis dan budayawan yang termasyhur pada era ‘60an. Ia lahir di Jember, Jawa Timur. Tentu bukan tidak beralasan penulis memilih Njoto sebagai tokoh yang penulis kagumi. Beberapa hal mengenai dirinya dapat diketahui dari beberapa artikel majalah, website, dan buku biografinya yang diterbitkan KPG dan Marjin Kiri. Satu ditulis oleh wartawan Tempo dan satunya adalah skripsi yang disusun oleh mahasiswa sejarah UI  sebagai penunjang syarat gelar S1 nya.

Njoto lahir di Jember pada tanggal 17 Januari 1927 di era kolonial belanda. Ia terlahir dari keluarga kelas menengah di daerah Besuki, di ujung timur jawa yang subur. Bapaknya bernama Rustandar Sosrohartono seorang  pedangang batik dan jamu, sementara ibunya Maslamah seorang pemborong yang mempunyai rumah berlantai tiga. Bapaknya seorang anggota Partai Komunis di Surakarta pada tahun ‘20an, menduduki jabatan sebagai sekertaris agitasi propaganda (Agitprop) di OsC PKI Bondowoso, dan meninggal akibat pemenjaraannya di Kaliosok.

Njoto mengenyam pendidikan formal pertamana di Hollandsche-Indlandsche School (HIS). Setelah lulus dari HIS ia bersekolah  di Meer Uitgerbreid Lagere Onderwijs (MULO)  Jember. Setelah itu Ia pindah bersama adiknya ke Surakarta dan tinggal di rumah kakek dari ayanya. Sabar Anantaguna salah seorang kawan satu sekolahnya mengatakan bahwa Njoto sudah pandai menulis sejak itu. Dengan demikian Njoto dipilih oleh gurunya sebagai ketua kelas. Tampilan Njoto pun lebih rapih ketimbang Sabar sebab Njoto lahir dari keluarga yang berkecukupan.

Njoto memiliki semangat yang bagus untuk mempelajari sesuatu hal, baik untuk kepentingan dirinya sendiri maupun orang lain. Njoto mempunyai keberanian dalam sejarah  perjuangan. Disaksikan kerabatnya, Jusuf Ishkak, ia pernah menjabat sebagai Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Yogyakarta dari perwakilan PKI Banyuwangi, dan ia memalsukan tahun kelahirannya jauh lebih tua agar dapat diterima. Dengan keberaniannya pula ia berhasil menjadi Mentri Negara di kabinet terakhir Soekarno.

Njoto disebut oleh Harbert Feith sebagai seorang solidarity maker, seorang penggerak solidaritas. Ia banyak menyerukan pembacanya untuk melakukan hal baik, seperti Turun ke Bawah (Turba). Turba menunjukan rasa solidaritas atas sesama seperti slogan yang dibuatnya yaitu  ‘sama rata sama rasa’ atau hubungan  “tiga sama” bekerja bersama, makan bersama, dan tidur bersama.” Ini menunjukan watak Njoto yang konkret dalam membangun perjuangan bersama dan belajar dari massa. Seperti apa yang ia katakan dalam pidatonya. … kita harus selalu belajar sebagai seorang murid kecil, dengan rendah hati belajar dari mereka-mereka yang mendahului kita, belajar dari sahabat-sahabat di luar negri, dan yang terpenting belajar selalu dari masa,beguru kepada masa.”

Dalam bukunya yang berjudul Marxisme Ilmu dan Amalnya tertulis “Kita melancarkan gerakan turun ke bawah tidak dan tidak pernah menggurui massa” tegas Njoto. Mengenai ini Njoto dapat dikatakan sebagai orang yang tidak sombong dan menganggap diri sendiri tidak lebih baik dari yang lain. Ia menyarankan kepada kawan-kawan agar belajar kepada petani, buruh pabrik, kaum pekerja yang disebut proletariat. Dari situ setiap orang bisa merasakan langsung setiap peristiwa dan perasaan yang dialami oleh proletariat.

Banyak nilai tauldan yang dapat ia berikan bagi manusia dan kemanusiaan, baik di bidang politik, budaya dan perwartaan. Ia salah satu pendiri Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), dan Menjadi Pimpinan Redaksi (Pimred) Koran Harian Rakyat pada tanggal penghujung Oktober 1953 menggantikan posisi Siauw Giok Tjhan. Harian Rakyat adalah salah satu Koran dengan oplah terbesar pada zamannya, yaitu lebih dari 30.000 eksemplar.

Njoto seorang polyglot, Ia gemar membaca sejak kecil. Menurut Marx “Bahasa asing adalah senjata dalam perjuangan hidup.”.  Ia banyak membaca literatur dari bahasa-bahasa yang diterjemahkan ke bahasa inggris. Dari Belanda seperti Annie Romien Verschoor, Van Blankensetein , Multatuli. Dari Uni Soviet seperti Anton Chekhov, Nikolai Ostrovski, Vladimir Mayakoski, Boris Pasternak, Fyodor Dostoyevski, Leo Tolstoy, Maxim Gorki, Mikhail Sholokov, Nikolai Gogol, Vissarion Byelinski, Alexander Sergeyvits Pushkin. Dari Cekoslowakia seperti Julius Fucik, Peter Besruc, Jaroslav Hasek,  Jaroslav Seifret, Karel Capek, Josef Svatopluk Machar, S.K Neumann, Jiri Wolker, Josef Hora. Dari Prancis, Lois Aragon, Honore de Balzac, Roiger Vailland, Albert Camus, Romain Rolland, Jean Paul Sartre. Dari Denmark seperti Martin Anderson Nexo, Hans Cristiann Andersen. Dari Italia seperti Ignazio Silone. Dari Cile seperti Pablo Neruda. Dari Turki seperti Nazim Hikmet. Dari Indonesia seperti Idrus, Sitor Situmorang, Hamka, Pramoedya Ananta Toer, Utuy Tantang Sontani. Selain membaca banyak buku dari belahan dunia lainnya Njoto juga menerjemahkan beberapa puisi dari penyair dunia seperti L.P.J Braat dari Belanda, Joe Wallace dari Kanada, Tien Yi dari Tiongkok, Walt Whitman dari Amerika Serikat, Musa Jalil penyair etnis Tartar, Martir Carter dari Guyana, Samuel Marshak, Vladimir Mayakovski dan Alexei Surkov dari dari Uni Soviet. Njoto juga menerjemahkan karya puisi tokoh besar seperti Karl Marx, Mao Zedong dan Ho Chi Minh yang jarang diketahui khalayak.

Di usia remajanya Njoto piawai memainkan biola dan saksofon. Ia senang bermain musik dan sempat membentuk grup band. Sebagaimana pada remaja umumnya ia menikmati masa mudanya dengan ber-eksperiment di bidang seni. Ia membentuk grup suara putri, yang berisi empat penyanyii remaja, salah satunya adalah Windarti dan Njoto sebagai pemetik gitarnya. Penampilan Njoto necis, ia senang menulis puisi yang puitis tidak melulu tentang perjuangan rakyat dan kaum tertindas. Ia sering mengunjungi pameran karya seni lukis bersama kawan-kawannya di waktu senggang. Selain itu ia pintar bergaul. Diakui bahwa bakatnya dalam bidang tulis menulis lebih menonjol dibanding dalam bidang olahraga.

Ia berkenalan dengan Marxisme  lewat buku-buku yang menjadi penuntun jalan hidupnya. Ia memilih sosialis sebagai idiologinya. Dari awal ia masuk Partai Komunis Indonesia (PKI) di lingkup kecil daerahnya, perlahan-lahan ia menjadi sosok yang diperhitungkan dan mengisi lembar sejarah perjalanan PKI dan perjuangan revolusi Indonesia, tidak terkecuali dengan Harian Rakyat tempatnya ia berdialektika.

Njoto membenci Amerika Serikat dan Belanda bukan karena bangsanya, tapi karena idiologi yang dianut bangsanya. Karena Marxisme ia menjadi anti-imperialisme, anti-feodalisme, anti-kapitalisme dan anti Exploitation del’homme par l’homme. Marxisme mempunyai tiga bagiannya yang tidak terpisah-pisahkan satu sama lain. Yaitu ajaran-ajaran tentang: ekonomi politik, falsafat dan sejarah.

Dalam gagasannya ia menyampaikan bahwa “Politik adalah Panglima” Politik bisa hidup tanpa budaya namun budaya tidak bisa hidup tanpa politik, pernyataanya di Kongres Nasional Lekra 1951 “politik sebagai panglima”.”tanpa politik sebagai panglima, perkembangan kebudayaan pada umumnya dan sastra pada khususnya tidak bakal tahu tugas dan gariss yang harus ditempuh, bisa terjadi demam kegiatan, tapi kenyataan akan merupakan gerakan tanpa kemajuan.”. Namun dari sudut pandang sosialisme bahwa di lapangan politik haruslah berarti kekuasaan di tangan rakyat. Ini merupakan terapan dari demokratis substansial yang mana segala keputusan dan kebijakan dibentuk oleh rakyat untuk rakyat dan kembali kepada rakyat bukan dari sistem perwakilan-perwakilan yang berlaku sebaliknya. Seperti yang dituliskan Yongky Karman di Koran kompas (10/4) Tingkat demokratis suatu bangsa tidak hanya diukur dari tingginya partisipasi dalam pemilu, tetapi juga dari politik kewarganegaraan dalam praktik. Jadi, apa yang dimaksud Njoto adalah demokratik dalam bentuk sosialisme sejati.

Njoto menandaskan bahwa “dalam sosialisme manusia bekerja menurut kemampuannya dan mendapat menurut prestasi atau hasil kerjanya” artinya masyarakat sosialis itu nihil penindasan masyarakat tanpa exploitantion del’homme par l’homme. Menanggapi kemunculan banyaknya versi sosialisme seperti sosialisme a la Indonesia sosialisme a la Tiongkok, sosialisme a la Arab, sosialisme a la Kuba dll. Njoto menolaknya sebab sosialisme dimanapun berada ia tetap sosialisme dan itu yang dinamakan sosiialisme sejati.

Sosialisme adalah suatu susunan sosial atau sistem masyarakat yang berdasarkan pemilikan bersama atas alat-alat produksi. Penulis minta perhatian: alat-alat produksi. Jadi, bukan atas meja-kursi, buku-buku, tempat tidur, sepeda, dan sebagainya. Dalam sosialisme proses produksi berlangsung secara sosial, demikian pun hasil-hasilnya dikenyam secara sosial. Ini berarti bahwa sosialisme itu bukan kapitalisme yang produksinya berlangsung sosial (kalau tidak ada kaum buruh yang banyak itu tidak akan ada produksi kapitalis!) tetapi hasil-hasilnya masuk ke kantong si kapitalis saja, jadi asosial. Sosialisme tidak boleh disederhanakan menjadi “sama rata sama rasa,” di mana orang yang bekerja berhak makan dan orang yang tidak bekerja juga berhak makan, atau di mana si rajin mendapat persis sama dengan si malas. Sebaliknya, dalam sosialisme hanya yang bekerjalah yang berhak makan, sedang yang tidak bekerja tidak berhak atas makan. Begitu pun, si malas tak akan mendapat sebanyak si rajin. Kian rajin akan kian banyaklah pendapatannya. Seperti dikatakan oleh Karl Marx: Dalam sosialisme manusia bekerja menurut kemampuannya dan mendapat menurut prestasi atau hasil kerjanya.” Pendeknya, sosialisme adalah masyarakat tanpa exploitation de l’homme par l’homme, tanpa pengisapan oleh manusia atas manusia, seperti berulang-ulang dinyatakan oleh Bung Karno. (Njoto, 1962:52)

Barang siapa membaca kumpulan karangan Marx, tahulah dia bahwa Marx bukan hanya besar perhatiannya pada soal-soal masyarakat, tetapi juga besar perhatiannya pada soal-soal ilmu alam pada umumnya, pada matematika, pada biologi. Tetapi sebagian sangat terbesar dari waktunya digunakannya untuk penyelidikannya di lapangan ekonomi. Karya utamanya yang menumental itu, Das Kapital, adalah hasil pekerjaan selama empatpuluh tahun. Bung Karno menulis tentang marxisme ketika berusia 32 tahun, “walaupun teori-teorinya sangat sukar dan berat bagi kaum pandai, maka amat gampanglah teorinya itu dimengerti oleh kaum yang tertindas dan sengsara, yakni kaum melarat-kepandaian yang berkeluh-kesah itu.” Jadi, Marxisme inilah yang membentuk watak Njoto.

Ketika Kongres Kebudayaan Indoneia ke-III pada 1954 Njoto berujar mengenai literasi kebudayaan “menolak yang lama mengambil dari yang lama itu unsur-unsurnya yang positif, meneruskanya dan mengembakannya secara kreatif. Perlu diingat; yang baru itu tidak ada artinya, jika ia tidak lebih baik daripada yang lama.”Artinya Njoto menjadikan marxisme jauh dari kata dogmatis yang kebanyakan dianut oleh kaum marxisme orthodox.

Bab-bab bukunya terdapat tentang marxisme sebagai ilmu, filsafat proletariat, ekonomi sosialis, dan sosialisme Indonesia. Dalam bukunya Njoto banyak menuliskan tentang buruh dan tani, bahwa apa yang terjadi di Negara tiongkok dan rusia dulu bahwa kesukarelaan adalah satu-satunya dasar yang digunakan dalam mengkolektivisasikan pertanian. Industri nasional harus diprioritaskan berikut upah buruh yang patut diberi. Semuanya demi kemakmuran Negara dan rakyatnya.

Nilai-nilai tauladan yang patut dicontoh dari Njoto yakni, ia orang yang murah hati, sering membantu temannya yang sering kesulitan. Ia dianggap serba bisa oleh kawan-kawannya Joesoef isak, Jeane Luyke, Amarzan, Umar Said dan Oey Hay Djoen. Njoto ahli di berbagai bidang mulai urusan politik, seni, olahraga hingga tempat-tempat yang menyajikan makanan lezat. Sejak muda ia aktif berpolitik, orang seperti dirinya tidak banyak ditemukan pada eranya. Hal ini kemungkinan didorong oleh latar belakang ayahnya yang juga sebagai aktor politik dan berdagang. Orang yang pintar berpolitik dan berdagang pada masanya tentu bukan orang biasa yang mempunyai kemampuan biasa.

Di akhir hayatnya Njoto hilang, dianggap meningal dunia pasca peristiwa G30S, PKI dan Underbownya tertuduh sebagai dalang pembunuhan para Jendral. Soeharto yang mengambil alih kekuasaan sangat buas memburu PKI sampai tuntas. Jutaan orang dibunuh secara sadis dan lainnya dipenjara tanpa pengadilan dan tanpa durasi kurungan. Hal-hal yang dapat ditiru dari Njoto adalah sosok yang cerdas, senang membaca, dan pandai menulis. Ia orang yang disiplin dalam bekerja dan tegas dalam mengambil keputusan. Selain itu, Njoto sebagai bapak yang tangguh memiliki enam anak dari Soetarni istrinya.

Di akhir bukunya Njoto menuliskan “Tanpa persatuan nasional dengan kaum buruh dan tani sebagai kekuatan pokoknya dan Nasakom sebagai porosnya, takkan ada pelaksanaan Manipol secara konsekuen, sedang tanpa pelaksanaan Manipol secara konsekuen, takkan ada Sosialisme Indonesia.” Manipol adalah sebuah konsepsi manifestasi politik Presiden Soekarno yang dibarengi dengan USDEK yaitu meliputi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Nasional. Njoto dengan kedekatannya dengan Soekarno ia dianggap sebagai Soekarnois. Akan tetapi, jiwa Nasionalisme Njoto tidak melunturkan jiwa Sosialisme sejatinya.

Penulis mendapat banyak nilai tauldan yang patut dicontoh dari seorang Njoto. Roeslan Abdul Ghani dalam Di Hadapan Tunas Bangsa bercerita mengenai retorika Njoto di hadapan peserta sidang MPR “aku cinta kemerdekaan karena aku kenal deritanya rakyat jajahan, aku cinta keadilan karena aku kenal deritanya rakyat diperlakukan sewenang-wenang, dan aku cinta kemakmuran rakyat karena aku kenal deritanya rakyat kelaparan.” Njoto menyampaikannya dengan penuh penghayatan. Njoto patut dicatat dalam sejarah perjuangan revolusi Indonesia, baik sebagai pahlawan maupun rakyat yang berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan. Dengan demikian bagi para pembaca dapat meneruskan perjuangannya dan ikut serta mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia yang saat ini jauh dan belum terlaksanakan.

Sebagai penutup, penulis ingin menyampaikan kepada pembaca bahwa setiap orang memiliki sejarah yang berbeda-beda. Masa lalu akan menggali kuburan sendiri dan masa depan akan menulis jalan ceritanya bersama-sama. Marilah kita bersama-sama menegakan kedaulatan rakyat atas negara, kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Mengambil contoh perjuangan dari kawan Njoto, kita buang yang buruknya dan ambil yang baiknya, sekian.


Daftar Pustaka
Aziz Firdausi, Fadrik. 2017. Njoto Biografi Pemikiran 1951-1965. Tangerang : Marjin Kiri
Njoto. 1962. MarxismeIlmu dan Amalnya, , Jakarta : Harian Ra’jat
Seri Buku Tempo. 2010. Njoto, Peniup Saxofon di Tengah Prahara. Jakarta : KPG.

Read More