Assalamualaikum.

Bissmillah

Yang Terhormat, Majelis Hakim, Pendamping Hukum, Jaksa Penuntut Umum dan para Hadirin  di ruang sidang ini.


Pertama-tama saya meminta maaf kepada keluarga saya, kepada kawan-kawan, kepada seluruh orang yang percaya dan kecewa, saya meminta maaf atas apa yang saya lakukan sehingga semuanya ikut susah. Kemudian, saya berterima kasih kepada keluarga saya, kawan-kawan saya, pendamping hukum saya, juga seluruh solidaritas yang menemani saya di pengadilan ini beserta doa-doa yang telah menyertaiku. Saya berterima kasih kepada Jaksa yang telah banyak mempertimbangkan sehingga tuntuntan tersebut merupakan yang terbaik untuk saya, begitu juga terima kasih kepada Majelis Hakim untuk segala putusan nanti.


Kawan-kawanku, dunia begitu kejam, ke-jam-jam yang kita lewati bersama, atau ke detik-detik kita bertemu dan berpisah. Proses persidangan ini membuat saya tersadar bagaimana manusia menciptakan segala mekanismenya sendiri, termasuk bagaimana menilai keadilan. Dunia yang kejam ini, terus berusaha mengingatkan kita kepada waktu, kepada jantung setiap degupnya.


Dalam kasus saya, saya meminta maaf atas segala kesalahan saya, baik yang disengaja ataupun yang tidak disengaja. Saya meminta maaf kepada korban, polisi yang saya pecahkan kaca kantor posnya, dan saya memaafkan kalian yang telah menerorr saya dan kawan-kawan saya dan rakyat Indonesia. Saya meminta maaf kepada diri saya sendiri, yang tak bisa mengikuti akal sehat dan nurani saat di mana saya meluapkan segala emosi, kecemasan, kemarahan,  ketakutan dan juga kemuakan melihat ketidakadilan di negeri ini.


Hari ini adalah proses pembelaan sebelum putusan hakim di mana hukum berjalan secara struktural, DAN SEHARUSNYA menempatkan keadilan di posisi terdepan. Pengerusakan adalah bentuk yang tidak bisa dibenarkan di mana orang-orang berontak karena kemarahan dan kecemasan. Tidak boleh orang membenarkan ketika sumber pengerusakan adalah bentuk perasaan-perasaan yang semestinya tidak perlu dipenjarakan. Perasaan harus bebas dari kotornya politik, kotornya kepentingan kekuasaan. Perasaan terbentuk dari menilai, melihat dan mengadili atas dasar pertimbangan-pertimbangan tolak-ukur perasaan dan kebiasaan. Keadilan semestinya bukan sekadar menghakimi, akan tetap memberikan pelajaran yang besar agar orang-orang dapat mengikuti kebenaran dan menjadikannya sebagai jalan kehidupan. Apabila pengadilan hanya berpaku pada menghakimi ketimbang memberikan satu upaya pencegahan den pembebasan perasaan yang terpenjara baik secara sosial maupun personal. Maka keadilan itu tidak lebih dari senjata bagi kaum-kaum orang yang punya kuasa dan harta.


Penjara adalah tempatnya orang-orang yang dianggap warga binaan, bukan warga siksaan. Meliahat penjara hari ini, merupakan penjara untuk hukuman yang menindas, bukan hukuman yang adil dan manusiawi. Makanan, Uang, dan Kekerasan bersarang di penjara. Rumah sakit yang dianggap penjara dari abad lalu, sekarang Penjara menjadi sumber penyakitnya. Selain Lembaga Permasyarakatan, Lembaga keadilan pun tak kunjung memberikan keadilan kepada korban-korban negara. Munir, Udin, Wiji Thukul dan juga 1 Juta orang yang dibantai tentara dan sekutunya untuk menghabisi rakyat di tahun 1965 dan juga tewasnya mahasiswa, hilangnya aktivis massa di tahun 1998 pun tidak bisa terselesaikan sampai detik ini. Hukum kita penuh pertimbangan politik ketimbang pertimbangan rasa kemanusiaan kita. Sampai detik saya berdiri di sini, berapa banyak korban oleh Kepolisian di berbagai daerah perihal konflik tanah antara korporat dengan masyarakat adat. Berapa banyak kawanku yang harus ditembak mati di daerah-daerah ketika mengekspresikan protes terhadap negara tentang rusaknya lingkungan hidup, tentang korupsi, tentang kesetaraan, tentang penindasan kaum pekerja, protes tentang hal-hal yang menjadi kecemasan dan keresahan kita. Masyarakat adat ada sebelum negara ini lahir, apabila pembangunan itu dikhendaki negara dalam hal ini para penyelenggara negara di eksekutif. Sudah seharusnya izin dan berdialog kepada masyarakat adat, bukan dengan solusi uang ataupun mempenjarakan mereka agar mereka hendak pergi dari tanahnya. Tanah-tanah mereka yang dibutuhkan korporasi tambang dan perkebunan.


Selain itu, tingkat kekerasan kepolisian terhadap masyarakat sebanding dengan tingkat tingginya kepuasan masyarakat terhadap institusi kepolisian. Kepuasan di sini bukanlah hadir begitu saja, ini ada upaya framing untuk menutupi sejarah bagaimana polisi kerap memeras rakyat, main hakim sendiri mendahului pengadilan, dan juga memanfaatkan kekuasaan yang macois, maskulin untuk menindas segalanya dalam hal ini mengayomi dan melindungi lagi-lagi orang yang punya tahta dan harta.  


Dengan demikian, melalui pembacaan ini, saya berharap ada keadilan dan hal-hal yang majelis hakim pertimbangkan terhadap situasi saya saat itu. Apapun putusannya saya akan menerima dengan iklas lapang dada sebab yang sejatinya keadilan hanya milik alam yang bekerja sesuai ketidakteraturan yang teraturnya. Mungkin saya terlalu mencintai kehidupan dan tidak pernah takut dengan kematian, akan tetapi saya selalu gemetar dengan bayangan setelah-kematian. Semoga ini pelajaran bagi perjuangan hidup saya, sekaligus menjadi saksi bahwa saya pernah berjuang, sekali berjuang tetaplah berjuang meski maut di hadapan menghadang.


Pledoi 21 Desember 2021, PN Sleman, DIY, Indonesia

Syahdan Husein

Read More

 


Waktu selalu dirasa cepat, namun jarang yang menyebutnya halus. Segalanya terbatas oleh waktu, waktu yang dipikirkan dan waktu yang dirasakan. Semua datang dan berlalu, sejak waktu dihitung dari berbagai perspektif peredarannya, sejak itu juga kita mulai mengerti perubahan dan perbedaan baik secara sadar atau tidak. Mulai dari jam istirahat, makan, berkumpul dan bercinta. Waktu begitu halus, melebihi rambut yang dibelah tujuh atau sutra yang paling lembut di dunia sehingga kita selalu merasa tiba-tiba karena terlalu nyaman dengannya. Perjalanan waktu adalah perjalanan perasaan, pengalaman dan pemikiran. Perasaan itu sendiri tidak beridiri sendiri, ia disokong oleh ingatan. Keilmuan yang berbasis pada apapun tidak lepas dari ingatan. Ingatan-ingatan ini kadang ada yang dilembagakan, ini sering disebut sebagai komunitas memori. Komunitas memori ini lahir dari ingatan dan waktu, ingatan yang membekas dan waktu yang berlalu. Jika kita berpaku pada peredaran yang dilihat dari bumi tentang jalur tata surya, lalu bagaimana waktu pada tata surya itu itu sendiri, tentu hal ini lebih kompleks dalam menjelaskan tiap perbedaannya.

Manusia di bumi mulai merasa sepi, mulai melihat ke luar teritori, apakah ada makhluk yang juga terpaut oleh waktu? Imajinasi dan logika bermain peran dalam hal ini. Waktu manusia cukup singkat bilamana adam dan hawa sebagai patokannya. Apakah hidup setelah kematian adalah bentuk waktu yang tak pernah bisa kita ketahui? Karena kita sedikit mencari atau diberi pengetahuan perihal ini. Pikiran, tubuh dan jiwa bisa dialami kehadirannya ketika hidup dan tampak satu sama lain. Sejatinya kita adalah serpihan, dikubur, dibakar atau tenggalam ketika jiwa berpisah dari tubuh yang ditinggalkan adalah ke-ada-an. Waktu serasa berlubang-lubang, diisi setiap lahir, bangun dan sebelum tidur. Ia lingkaran yang tak pernah putus dan ke-tiada-an akhir pada jalan yang lurus. Waktu kita diukur pada batas pengalaman kenyang, senang, lelah, singgah, sedih dan meratapinya.

Dalam lubang-lubang lingkar waktu ini kita hanya perlu melihat bahwa kita bukan siapa-siapa, bagian kosmos yang kita punya di kepala tanpa pernah sekalipun berkeliling berkelana. Kebijaksanaan lah yang memengaruhi bagaimana kita melihat waktu, sejarah dan masa depan. Inti dari hidup bukan sekadar nafas, melainkan yang ada di hati berupa kedamaian dan harapan yang masih sedikit tersisa untuk menyaksikan lubang waktu bekerja. Mencintai cinta dan membenci segala yang memusuhinya. Waktu tidak bisa diadli karena ia tidak memiliki keadilan. Keadilan hanya milik kita, tentang bagaimana kita melihat waktu dan perasaan yang dapat diistirahatkan dengan tenang. Hingga pada akhirnya kita semua hanyalan kenangan.

Pada kosep tanda-petanda ini, aku ingin menyadari bahwa aku bukanlah aku dan aku adalah aku. Setiap lingkaran yang diisi oleh angka yang disepakati dalam menunjukan pukul, aku memilih menggunakan aksara arab timur. Lingkaran dengan garis tipis dan dengan diamter sekepal tangan yang juga seukuran dengan jantungku. Letaknya di tengah dada tepat berada di cekungan antara dua payudara yang kita sebut sebagai dada. Tadinya, di dalam lingkaran itu akan diisi oleh komunitas memori, pergantian hari, perasaan yang mebayang-bayangi, dan juga komunalitas, keluarga dan cinta seutuhnya. Akan tetapi, lubang waktu itu diisi pula jam pasir yang berangka tak putus dengan air yang akan menetes kepada benih di atas tanah retak kekeringan. Dalam hal ini, kehidupan atau kematian ia memiliki waktunya sendiri, persoalannya perihal bagaimana kita memaknainya.

Read More


Judul Buku                  : Oligarki Teori dan Kritik
Penyunting Buku        : Abdul Mughis Mudhoffir dan Coen Husain Pontoh
Penerbit Buku             : Marjin Kiri
Cetakan                       : Pertama, Januari 2020
Ketebalan                    : XXIV +291 halaman
ISBN                           : 978-979-1260-95-4


Oligarki Rezim Jokowi Bukan Salah Ketik: Review Buku Oligarki Teori dan Kritik

Jokowi membentuk Staff Khusus Presiden dari generasi milenial karena dirasa mampu merangkul kaum muda secara seremonial. Berbagai kritik pedas bergulir dengan segala bentuk blunder yang mereka ciptakan sendiri. Mundurnya Belva dan Andi Taufan dari Stafsus pun menjadi jalan keluar untuk mengecoh opini publik perihal bisnis mereka baik mengenai penanganan Covid-19 maupun kartu pra-kerja yang menjadi pokok permasalahan conflict of interest. Oleh karena itu, buku Oligarki Teori dan Kritik terbitan Marjin Kiri menjadi paling menarik untuk membahas fenomena lingkaran bisnis di pemerintahan Jokowi.

Buku ini adalah kumpulan tulisan dari sembilan penulis yang mengaplikasikan dan sekaligus mengkritik oligarki secara teori. Tulisan ini akan menjelaskan isi dari beberapa penulis dalam buku Oligarki Teori dan Kritik tentang pandangan Richard Robinson dan Vedi Hadiz dalam Reorganising Power in Indonesia, dan Jeffrey Winter dalam bukunya Oligarcy. Muhammad Ridha adalah penulis yang mengawali pembahasan oligarki. Menurut Aristoteles oligarki yakni pemerintahan yang dikuasi oleh sedikit orang (rule by the few). Ia menyebut bahwa “oligarki mendapatkan ruang politik yang sangat kondusif untuk mempertahankan kepentingannya.” Menurut Ridha analisis Winters tentang oligarki tidak ditempatkan sebagai oposisi dari demokrasi. Justru Oligarki dapat mempertahankan dominasi mereka dalam demokrasi karena kekuatan material yang mereka miliki. Menurut Ridha banyak bukti sejarah menunjukan bagaimana kalangan yang kaya mengalokasikan kekayaan mereka untuk membayar pasukan, benteng atau ksatria guna melindungi mereka dari ancaman perebutan kekayaan. Menurutnya semakin besar kekayaan yang dimiliki, semakin besar pula ancaman terhadap kekayaan tersebut. Sumber ancaman itu datang dari relasi horisontal (orang kaya lainnya) dan vertikal (kelas bawah).

Tulisan Abdil Mughis Mudhoffir mengutip definisi Oligarki dari Robinson dan Hadiz. Oligarki adalah sistem relasi kekuasaan yang memungkinkan konsentrasi kekayaan dan otoritas serta pertahanan kolektifnya. Pertahanan kolektifnya seperti disebut di atas untuk melindungi kekayaannya (halaman 29). Jika dikontekstualkan, peristiwa dibunuhnya Marsinah, Munir dan Salim Kancil adalah bentuk pertahanan kolektif oligarki. Di sisi yang sama, menurut saya BuzzeRp baik persona ataupun bot berusaha keras membentuk perspektif publik untuk mendukung program-program pemerintah di sosial media. Alih-alih menyebut kebijakan tersebut merugikan rakyat malah disebut menguntungkan dengan segala ke-absurd-annya. Fenomena tersbut juga berupa bentuk pertahanan kolektif oligarki yang membiayai mereka. Dalam konteks ini Made Supriatna menyebut mereka (ormas, preman, polisi, tentara, BuzzeRp) sebagai enterpreneur yang memanfaatkan kondisi relasi ini. Mudhoffir menyebut bahwa adanya kelas borjuis  atau kapitalis-kapitalis besar pada umumnya dilahirkan oleh negara, sementara di Eropa tidak demikian.

Tentang korupsi Mudhoffir menyebutkan “korupsi bukan disebabkan oleh adanya fragmentasi kekuasaan serta serta interaksi-interaksi tertentu antara negara dan masyarakat, melainkan sebagai produk dari hubungan-hubungan kekuasaan yang dibentuk oleh aliansi politisi-birokrat dengan pengusaha yang menggunakan institusi-institusi dan aturan formal negara sebagai instrumen dalam mengakumulasi dan mempertahankan sumber daya ekonomi dan poltik.” (halaman 41). Dalam hal ini jelas apa yang terjadi bagaimana anak Chairul Tanjung konglomerat menjadi anggota Stafsus dan juga kasus surat Andi Taufan yang mengajurkan setiap camat mendukung perusahaannya dalam menangani pandemi Covid-19.

Peristiwa Covid-19 yang dikritik Ardy Syihab terhadap Martin Suryajaya dalam Suara Rakyat Bergerak  menyebutkan “Sokongan negara di bidang ekonomi terepresentasikan jelas dengan diterbitkanya Perppu No.1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Alih-alih menyokong kebutuhan rakyat kecil, kebijakan ekonomi ini lebih banyak menguntungkan pelaku swasta dan korporasi besar.”[1] Ardy berpendapat bahwa Pasal 16, Bank Indonesia diberikan kewenangan untuk memberikan bantuan dana pada korporasi melalui Surat Utang Negara menjadi dalih pemerintah untuk menyelamatkan perusahaan karena krisis dan Bank Indonesia dapat memberikan likuiditas besar-besaran. Begitu juga dari Pasal 5 negara memberikan penurunan tarif pajak PPh badan menjadi 22% tahun 2020, 20% di 2022, dan 17% untuk wajib pajak dalam negeri. Ini berarti korporasi dibebani pajak lebih sedikit.

Ardy menyebut kesalahan logika Martin bahwa alih-alih perusahaan swasta akan hancur dan hanya negara yang akan menjadi pemain tunggal ekonomi sampai menyebutnya sebagai revolusi diam, justru negara berani pasang badan untuk merugi. Ardy menyebutkan “Argumentasinya Martin Suryajaya yang menyatakan dimungkinkannya tata ekonomi dunia baru, di mana sektor swasta akan remuk dan satu-satunya kekuatan ekonomi yang signifikan adalah negara, dengan sendirinya terbantahkan.” Bahkan negara berhutang demi hidupnya sektor swasta dan kelangsungan roda ekonomi kapitalisme. Ardy melihat kapitalisme mengharuskan roda perekonomian terus berputar dan negara dalam situasi menangani Covid-19 menjadi alat yang apik untuk memenuhi keinginan oligarki.

Kembali kepada tulisan Mudhoffir, korupsi juga disebabkan kebutuhan atas ongkos politik yang besar dalam momen pemilu. Hal ini menjadi dorongan para politisi dan partai politik mempertahankan pola hubungan patronase dengan para pengusaha yang telah terjalin sejak orde baru. Pengusaha pun membutuhkan koneksi politik untuk menjami kelancaran pengembangan bisnisnya yang daripadanya membutuhkan akses dan proteksi dari negara melalui perizinan, konsensi, maupun kontrak. Menurutnya dalam proses ini juga, elemen-elemen kekerasan non-negara juga digunakan tidak hanya memberikan proteksi tetapi juga melakukan perampasan secara langsung aset-aset yang diperlukan untuk pengembangan bisnis, seperti yang disebutkan diatas perihal pertahanan kolektifnya.

Kemudian, Sangaji dalam tulisannya juga seirama dengan Ridha dengan menyebut “demokrasi liberal [senantiasa] berwatak oligarkis.” Ia mengutip Aristoteles mengenai demokrasi dan oligarki. “its democracy when the free and the poor who are a majority have the authority to rule” sebaliknya “it is oligarchy when the rich and well born, who are few do.” Sangaji menyebutkan nama-nama orang kaya sekaligus politisi untuk menjelaskan Oligarki di Indonesia. Ia juga menyebutkan perihal oligarki di mana Luhut Binsar Panjaitan yang menjadi Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi pada periode kedua pemerintahan Jokowi mengatakan perusahaannya menyuplai kayu ke pabrik furnitur Jokowi (halaman 81). Seperti disebutkan juga dalam film “Sexy Killer” bahwa anak Jokowi juga berkontak bisnis dengan perusahaan Luhut. Film tersebut benar-benar menelanjangi bagaimana watak oligarki yang menghancurkan lingkungan demi keuntungan. Sangaji berpendapat bahwa kemiskinan adalah buah dari yang kaya mengeksploitasi yang miskin dan juga ketidakmerataan penguasaan kekayaan dalam masyarakat adalah salah satu ciri kapitalisme (halaman 94). Demokrasi yang sesungguhnya adalah demokrasinya orang miskin bukan sebaliknya demokrasi liberal atau demokrasi kapitalis.

Coen Husain Pontoh seperti penulis lain memberikan keterangan persepsinya tentang demokrasi. Mengutip Ellen Meiksins Wood, Pontoh menulis bahwa demokrasi (liberal) hanya bertujuan untuk menyelesaikan perselisihan di kalangan elit melalui penciptaan aturan-aturan prosudural dan struktural yuridis. Sementara hal-hal yang berkaitan dengan kemiskinan, keadilan, dan kesenjangan sosial-ekonomi yang terjadi dalam masyarakat bukanlah prioritas utama demokrasi (halaman 110). Pontoh dalam tulisannya menjelaskan bahwa menguatnya kekuasaan oligarki tidak bisa dilepaskan dari dinamika ekonomi politik global. Oleh karena itu, ia menulis dari perspektif poltik oligarki yang disebutnya sebagai Poliarki. Menurut Pontoh, ada proses promosi dari politik luar negeri AS melalui NED (National Endowment for Democracy) dengan dalih suntik dana bantuan khusus dari Departemen Luar Negeri AS yang sebenarnya adalah dana untuk mempromosikan poliarki dengan mengitervensi kebijakan suatu negara yang dinilai tidak sesuai dengan sistem poliarki atau demokrasi berorientasi pasar. Aktivitas-aktivitas politik NED juga secara terbuka mendanai pembangunan partai. Komponen kedua adalah Office of Democratic Initiatives (ODI) yang dibentuk AS pada tahun 1984 yang aktivitasnya sama seperti NED membiayai pemilu negara-negara yang dijadikan target. Namun setelah ada pembagian tugas ODI bertugas mengelola program-program penguatan demokrasi berdasarkan kerjasama government-to-government, seperti mensponsori reformasi sistem yudisial, pelatihan anggota parlemen nasional, dan mendanai pengadilan pemilu (electoral tribunal) di negara-negara yang diintervensi (halaman 123). Pontoh juga menulis mengenai Transnational Capitalist Class (TCC) dan Transnational Corporation (TNC) yang sejatinya membuat keputusan dan mengontrol ekonomi global. Dengan semakin menguatnya kelas kapitalis pada dekade ‘90an disebutkan kebijakan neoliberal ke seluruh dunia semakin agresif, melalui sebutan yang dikenal sebagai “Washington Consensus”. Kebijakan ini memiliki (10) poin, jika diperas semuanya menjadi dua poin yaitu (1) liberalisasi pasar dunia dan (2) restrukturisasi pasar internal dan integrasi global seluruh ekonomi nasional.

Tulisan Intan Suwardi pun seirama dengan Pontoh, ia menyebutkan bahwa institusi-institusi finansial global seperti International Monetary Fund (IMF) dan World Bank mengatur relasi ekonomi-politik negara-negara selatan seperti Indonesia dan memengaruhi kebijakan pemerintah. Dalam tulisannya, Intan Suwardi mengeksplorasi bagaimana kekuasaan terkonsentrasi di tangan perusahaan multinasional besar yang pada gilirannya memengaruhi dinamika politik oligarki di Indonesia. Perusahaan ini memiliki kekuasaan oligopolistik berskala global. Mereka berkerja dalam sistem persaingan oligopolistik, di mana sejumlah kecil (dan jumlahnya semakin mengecil) perusahaan multinasional mendominasi produksi dunia. Sebab itu Suwardi melihat ini merupakan gambaran konsentrasi dan sentralisasi kapital dalam skala internasional. Pada tahun ‘90an menurut Suwardi, usaha-usaha pemerintah Indonesia untuk menaikan upah minimum pasca krisis ekonomi direspons dengan kritik pedas dengan mengatakan bahwa kebijakan tersebut mengancam daya saing Indonesia di pasar investasi. Pada pembahasan ini jika dikontekstualisasikan kita akan teringat bagaimana para pemangku kebijakan ekonomi di Indonesia menciptakan RUU Cipta Kerja yang anti kesejateraan buruh berdalih bahwa pabrik-pabrik di Indonesia akan pindah ke Vietnam karena dianggap pekerja di Indonesia memiliki upah yang tinggi jika RUU ini tidak disahkan.

Kemudian, Robertus Robert menulis tidak jauh dari “Res Replubika”nya di mana demos sebagai agen transformatif potensial yang dapat menghadapi invasi oligarki terhadap polis. Namun di sisi lain, Robert menyadari bahwa demos sangat rentan dicaplok oleh oligarki melalui politik populisme sektarian. Robert memberi kalusul pertanyaan perihal siapa yang dieksploitasi oleh oligarki dan menurutnya jawaban yang menjadi korban terbesar oligarki adalah demos dan ranah publik. Oligarki sebagai kelas pemodal jelas melakukan penarikan nilai-lebih terhadap kelas pekerja. Tidak hanya nilai lebih, Robert mengutip Marx dari Capital, Vol. III. “kelas yang menguasai alat produksi (capitalist class) dalam suatu zaman akan menguasai gagasan di zaman itu. Dengan demikian, suprastruktur masyarakat direbut dan dibentuk oleh oligarki dengan menananmkan nilai-nilai dukungan terhadap kapitalisme. Menurutnya dengan mencaplok negara dan meleburkannya ke praktis bisnis, oligarki meniadakan demos dalam politik. (halaman 188). Dalam perlawanan demos terhadap oligarki Robert beranggapan melalui populisme sering digunakan sebagai jalan kembalinya demos. Akan tetapi kritiknya bahwa demos kerap kali mengalami pergeseran dari demos ke mayoritas primordial. Robert beranggapan bahwa perlawanan terhadap Oligarki pada dasarnya bukanlah perlawanan dengan implikasi memperkuat segi-segi mendasar relasi sosial yang lebih adil/humanis, melainkan perlawanan untuk mengukuhkan kembalinya demos di dalam demokrasi.

Penulis selanjutnya adalah Geger Riyanto. Ia menulis bahwa dari gagasan Foucault menyampaikan bahwa subjek senantiasa mempraktikan diri bukan berdasarkan inspirasi dari dalam dirinya sendiri melainkan dari model yang ditanamkan kebudayaan, masyarakat, serta kelompok sosialnya. Dari sini saya melihat bahwa oligarki dan nilai-nilai neoliberalisme yang tercermin dari kebijakan negara tidak hadir begitu saja, akan tetapi melalui proses-proses konstruksi diskursif yang ada di dalamnya seperti yang disebutkan Riyanto. Selain itu menurut Riyanto, ada pula aktor yang menggalang dukungan populer melebihi yang lain dan ketika memenangkan kontestasi, terlepas siapa yang memenangkannya, akan mendudukan elite-elite yang mengonsentrasikan kekuasaan untuk segelintir pihak. Pada sisi ini Riyanto menyebutkan bagaimana Jokowi maupun oposisi didukung oleh oligarki media sehingga menurut saya kekuasaan tidak jauh dari mereka yang menduduki fungsi-fungsi strategis di kursi pemerintahan. Melalui tulisannya juga, Riyanto membedah penguasaan militer terhadap sektor bisnis yang didasari dwi fungsi ABRI atau doktrin perjuangan ABRI. Doktrin tersebut menegaskan bahwa ABRI mempunyai tanggung jawab memenuhi harapan rakyat mengawal pembentukan pemerintahan yang bertanggung jawab, kuat, serta progresif. Pandangan ini yang membuat ABRI sampai sekarang memiliki peranan di luar aktivitas non-militer. Kita ketahui bahwa Luhut Binsar Panjaitan, Wiranto dan pensiunan militer lainnya memiliki perusahaan besar yang membawahi banyak sektor sehingga terdengar suara di kalangan mahasiswa bahwa jika ingin jadi pembisnis jangan masuk Fakultas Ekonomi Bisnis, melainkan masuk Akademi Militer atau Akademi Kepolisian.

Penulis selanjutnya adalah Antonius Made Tony Supriatma. Supriatma memilih kata kartel politik untuk menganalisis tindak-tanduk oligarki dengan bisnisnya. Kartel politik adalah konsep utilitarian yang merupakan hubungan kerjasama di antara para pengusaha untuk meminimalisasi persaingan dan memaksimalkan keuntungan. Kartel tersebut memiliki arti sebuah hubungan untuk meminimalkan persaingan, mengontrol harga, dan memaksimalkan keuntungan di antara para anggota kartel. Di sini kita lihat bagaimana pengusaha mendominasi di DPR dan duduk di kursi kabinet pemerintahan Jokowi. Yayasan Auriga Nusantara dan Tempo menemukan 262 orang atau 45,5% dari 575 anggota DPR terafiliasi dengan perusahaan. Nama mereka tercatat pada 1.016 perseroan terbatas yang bergerak di berbagai sektor.[2] Tidak hanya legislatif, ekskutif kursi kabinet juga diisi banyak pengusaha termasuk Presiden Jokowi.

Di pembahasan lain Supriatma menggunakan kata “bosisme”. Bosisme adalah kata yang digunakan Supriatma untuk menyebut orang kuat yang ada di lingkaran oligarki di pemerintahan. Supriatma mengutip Sidel tentang kemunculan orang kuat yang dihalangi oleh struktur kelembagaan dari negara itu sendiri, akan tetapi ia memprediksi bahwa orang kuat dan dinasti politik akan muncul bersamaan dengan pemilihan langsung (halam 235). Gagasan ini seirama dengan gagasan-gagasan di atas bahwa demokrasi liberal lah yang mempunyai peran memunculkan oligarki itu sendiri. Supriatma juga menyatakan bahwa kartel politik ini membentuk stabilitas elite di tingkat nasional.  Menurutnya dengan menekankan stabilitas elit kita bisa menganalisis sebuah sistem monopoli yang meminimalkan persaingan, menoleransi korupsi dan kolusi, dan menjelaskan berbagai kegagalan fungsi institusi demokratis. Menurutnya institusi ini buka hanya dibajak tapi juga sengaja dimatikan secara fungsional tetapi dengan tetap menghidupkan makna simboliknya. Di poin ini kita melihat bagaimana KPK dipimpin oleh Irjen Firli dari kepolisian yang sejalan dengan pemerintah, putusan Mahkamah Agung dalam kasus BPJS yang dicueki oleh rezim saat ini. Supriatma melihat akibat dari stabilitas elit ini kartel poltik memberikan empat konsekuensi penting pada politik indonesia (halaman 239). Pertama, pragmatisme politik. Kedua, tidak jelas hubungan oposisi dengan pemerintah. Ketiga, pengebirian kekuatan massa rakyat. Keempat, menjinakan rakyat. Poin pertama Supriatma memberi contoh bahwa pragmatisme politik membuat kartel politik merangkul semua kalangan termasuk korban penculikan yang menjadi agen dari para penculiknya. Poin kedua Supriatma melihat bagaimana oposisi lebih sering sejalan ketimbang berbeda dalam hal merumuskan kebijakan, contoh yang saya berikan adalah persetujuan mayoritas partai politik di DPR dalam berbagai RUU yang lebih memihak ke pemodal ketimbang rakyat. Poin ketiga kartel politik melakukan sistem perangkulan (inclusion) dan penyingkiran (exclusion). Poin ketiga memiliki contoh seperti kasus lumpur Lapindo yang mencerminkan menangnya kekuatan modal atas penderitaan rakyat dan juga kasus usaha mengebiri Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK). Poin keempat kartel politik menjinakan massa rakyat melalui persuasi dan manipulasi dalam iklim politik kartel.

Tulisan terakhir dalam buku ini adalah Johannes Danang Widoyoko. Tulisan Widoyoko terdiri atas empat bagian yaitu tentang teori dan persoalan ekonomi-politik kontemporer Indonesia, tentang konglomerasi di Indonesia, tentang kapital negara dan kesimpulan dan rekomendasi. Widoyoko menyebut bahwa kolongmerasi di Indonesia sesungguhnya adalah wajah lama karena terkait dengan perusahaan atau keluarga yang menikmati dukungan dari pemerintah Orde Baru. Widoyoko menanggap bahwa oligarki di Indonesia muncul dan berkembang seiring dengan ekspansi ekonomi pasar kapitalis, liberalisasi ekonomi awal 1980an yang menjadi moment penting munculnya kapitalis-kapitalis domestik. (halaman 258). Dari sini, mengutip Winters, Widoyoko membedakan elite dengan oligarki, elite bisa saja menduduki posisi penting dalam institusi negara atau memimpin partai, tetapi bukan oligarki jika tidak memliki sumber daya material. Oligarki menduduki posisi strategi, baik formal maupun informal karena kepemilikan atas sumber daya material yang bisa dipergunakan untuk membiayai kepentingannya. Melalui tulisannya, Widoyoko menekankan perihal absennya pembahasan kapital negara (BUMN) oleh Robinson, Hadiz dan Jeffrey Winters dalam bukunya. Menurutnya tentang kapital negara, pendirian BUMN yang semula didirikan bukan untuk mencari laba, saat ini justru diwajibkan untuk memberikan keuntungan. Dalam tulisannya, BUMN (PLN) kerap menjadi mitra bagi perusahaan-perusahaan besar (batubara) yang dimiliki oleh oligarki sekaligus elit di pemerintahan perihal. Akan tetapi oligarki ini hanya menjadi mitra lokal perusahaan-perusahaan internasional karena belum ada perusahaan Indonesia yang memiliki teknologi pembangkit. Sebagai penutup ia menulis bahwa di balik kemunculan nama-nama baru pemilik kapital adanya andil dari mendominasinya konglomerat lama. Widoyoko pun menyebut bahwa pasca reformasi kekuasaan beralih dari militer ke kepolisian. Dengan demikian, buku ini begitu menarik untuk dibaca oleh mahasiswa yang sedang progresif-progresifnya. Teori dan kritik tentang oligarki menjadi analisis ekonomi-politik untuk menentukan siapa musuh kita sebenarnya. Dari tulisan ini menjelaskan bahwa lingkaran oligarki di Istana bukan lagi menjadi alasan Jokowi sebagai salah ketik.

Read More




Kata “Monyet” adalah kata terpopuler yang sering digunakan untuk mendiskriminasi suatu bangsa terhadap bangsa lain. Orang pribumi di zaman kolonial sering disebut monyet, seperti prasangka “Minke” (dibaca: Mingke) tentang namanya yang hampir dekat dengan kata “Monkey” di mata gurunya dalam novel Bumi Manusia Karya Pramoedya A.T. Orang kulit hitam atas kulit putih di Amerika Serikat zaman perbudakan pun demkian mengalaminya. Sebenarnya menyamakan seseorang dengan binatang adalah suatu adat buruk yang biasa terjadi di lingkungan kita, akan tetapi pada konteks Papua, hal ini menjadi isu penting untuk kata yang benar-benar harus dihindari. Lalu apa yang menjadi sebab terjadinya perilaku yang tidak pantas yang dialami oleh orang Papua?

Pendidikan multikuluralisme menjadi pembahasan penting dari kasus ini. Representasi orang papua begitu minim di sekitar kita. Sewaktu kecil, tidak adanya identitas orang papua yang saya liat di buku-buku sekolah. Bahkan representasi pahlawan dari Papua saja saya baru ketahui dari mata uang yang baru keluar belum lama ini. Mengedepankan representasi orang Papua itu sangat penting. Representasi tersebut bukan hanya dari keindahan alam untuk pariwisata semata atau iklan-iklan telivisi yang berkaitan tentang keberagaman saja. Coba kita tengok panduan atau ilustrasi pemberitahuan di Puskesmas atau Rumah Sakit, representasi Papua jarang ditemui. Buku-buku gambar anak kecil, sangat jarang diperkenalkan warna kulit hitam. Ketika ditanya warna kulit orang Indonesia itu apa, sawo matanglah yang sering kita dapat sebagai jawabannya. Padahal ada banyak warna kulit selain sawo matang di Indonesia khususnya orang Papua. Jujur saja, saya baru mendapatkan kelas multikulturalisme di bangku kuliah.

Selain representasi, body shaming adalah hal paling dekat untuk menganalisis hinaan monyet tersebut, entah kesamaan warna kulit atau perilaku. Body shaming menjadi senjata yang paling sering digunakan dalam perundungan (bullying). Boncel, kuntet, jangkung, gendut, krempeng, hitam, tonggos, ompong, pesek, pedok, budeg, peang, cacat, menjadi kata yang sering digunakan untuk body shaming. Karena standar kecantikan/ketampanan menjadi begitu bringas dalam menilai buruk seseorang. Tidak sedikit perkelahian diawali karena ejekan dan hinaan. Salah satunya pembakaran kantor DPRD di Manokwari yang baru saja terjadi hari ini, 19 Agustus 2019, oleh masyarakat karena tersulut hinaan “Monyet”. Siaran Pers No. 154 pada hari tanggal yang sama, Kominfo sempat melakukan pelambatan akses internet di beberapa wilayah Papua Barat dan Papua untuk meredam tersebarnya hoaks dan disinformasi perihal kasus mahasiswa Papua yang belum lama terjadi setelah Hari Kemerdekaan Indonesia di Malang dan Surabaya. Melihat respon masyarakat Papua yang bersikap demikian bukanlah sesuatu bisa dibilang reaksioner. Puncak kekecewaan orang Papua kepada pemerintah tidak terjadi sehari dua hari saja atau baru-baru ini. Semenjak Orde Baru dibangun dengan tumpahan darah orang-orang kiri, korban kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua sudah sering terjadi di zaman serba “siap komandan” itu. Pengerukan SDA, “nasiisasi” kepada orang Papua, penyawitan, dan tindakan kekerasan sering dialami salah satunya yaitu penangkapan Filep Karma, penangkapan dan pemukulan mahasiswa Papua oleh aparat dan ormas ketika melakukan aksi demonstrasi. Puncak kemarahan yang terpendam turun temurun tersebut tentu tidak bisa dipadamkan dengan mudah.    

Streotyping adalah sisi terkejam dari kebodohan. Oleh karena itu, stereotip buruk yang harus dihindari untuk menilai seseorang dari ras, warna kulit, agama dan golongan. Pemanggilan si Pace, si Batak, si Ambon, si Jawa, si Cina merupakan bibit-bibit disintegrasi dari sebuah panggilan kepada seseorang. “Mereka adalah kita“ merupakan slogan yang cocok untuk melawan stereotipe tersebut. Jika seseorang dari suatu ras, suku, bangsa atau agama tertentu berbuat salah, kesalahan tersebut dipikul oleh seluruhnya. Hal demikian sungguh tidak adil untuk diterima seseorang atas sesuatu yang bukan kesalahannya. Nenek saya bercerita mengenai penamaan paman saya yang paling bontot. Sesuatu yang aneh sebagai orang Batak menamai anaknya dengan nama Jawa atas dasar rasa aman dan demi masa depannya yang cerah. Nenek saya memberi nama anaknya dengan nama Jawa karena pada peristiwa Malari orang Batak di Jakarta dimusuhi atau dibenci dengan alasan orang Batak sebagai salah satu aktor kerusuhan tersebut dalam melawan Soeharto. Tindakan stereotip seperti ini sudah menjamur di sekitar kita. Bentuk penolakan berupa tulisan yang terpajang di depan kos “tidak menerima kos mahasiswa Papua” di Jogjakarta adalah contoh kejam dari stereotip yang pernah dialami oleh orang Papua.


Dengan demikian, sebelum menyoroti persoalan Papua, sebaikanya kita menyoroti lingkungan sekitar kita. Apakah kita sudah terbebas dari watak kolonial degan menyebut suatu bangsa dengan kata “Monyet”. Menjadi seseorang yang memiliki watak merdeka adalah memerdekakan orang lain. Memerdekakan Papua dari diskriminasi, intimidasi dan sikap rasis dari orang lain adalah tugas sebagai bangsa yang merdeka.
Read More


Sebelum nonton teater KRST gue penasaran ceritanya gimana, Moksha bilang, teater anak Psikologi gelap, biasanya erotis. Gue sontak kebayang-bayang di kursi penonton sambil nunggu teater mulai.

Perjalanan gue ke TBY cukup awal, gak paling sih, biasa-biasa aja. Sepanjang perjalanan gue liat banyak banget burung terbang, hinggap di kabel dan tiang-tiang. Entah menyambut musim pasca-orba, atau musim kawin, gue ga tau juga. Mungkin gue rasa burung-burung protes, hutannya hilang dan mereka pun invansi ke kota dengan semangat melawan, haha sotoy.

Sebelum ke kursi penonton gue rakab sedikit, iya sedikit-sedikit nambah, sebat aja kayaknya ga cukup untuk ngadepin teater gelap yang bakal gue nonton nanti. Pas rasanye cukup gue masuk beli tiket, lumayan nunggu lama mulainya. Sambil nunggu, gue keluar rakab lagi, serasa cukup, gue balik masuk ke kursi pojok sebelah kiri ke arah panggung. Agak lama gue nunggu, gue keluar lagi, serasa cukup, gue masuk lagi. Sekian lama menunggu, teater dibuka oleh MC yang rasanya gue mulai jadi atlet lompat jauh.

MCnya kaku kaya penyiar TVRI 80an, penonton di sebelah gue rasanya udah males nanggepin MCnya, tapi gue nikmatin aja, rasanya kaya nonton wayang jepang. Yang gue kaget, MC menyuru kita berdoa sebelum pementasan dimulai, gue heran, ini teater apa lomba Pildacil, sekularitas mulai ngoceh nih haha. Tapi gpp, ambil positifnya aja, sesuatu yang baik, untuk mengingat tuhan dalam setiap aktivitas.

Adegan pertama, penonton diajak menyaksikan gadis SMA bunuh diri di kamarnya. Setelah siaran TV yang memberitakan matinya gadis itu, datang Statik ek, dan Ame Yume sebagai tokoh game character dari si gadis Nike, dan pria durhaka bernama Ryan.

Kedua tokoh karakter berdialog dengan kedua pemiliknya, gue lihat ada semangat cosplay yang sama, dari pakaian tokoh imajiner tersebut. Statik ek di sini merupakan aku yang bukan aku dari Ryan, begitu juga Ame Yume dengan Nike. Ryan dan Nike adalah pecinta game yang luput dari kejaran di luar dunia virtualnya.

Gamer yang kehilangan kontak dengan realitasnya menjadi masalah bagi orang-orang di sekitarnya. Ayah Ryan tidak suka melihatnya bermain terus dan ngstuck di zona nyaman sebagai pengangguran. Ibu Nike juga demikian, ia tidak suka anaknya melakukan sesuatu selain belajar dan berprestasi. Ibu Nike lebih keras dari Ayah Ryan dalam menghadapi anaknya. Dialog-dialog dipenuhi ceramah dari orangtua dan kampanye anti sampah-masyarakat (pengangguran bermain game online), anti-narkoba ("Sekali coba, the end!") sontak gue langsung inget Likin Park, "sekali coba, Chester Bennington!" dan kampanye anti-hedonisme (larangan game online untuk bersenang-senang).

Antartokoh dengan game characternya merupakan id dan ego. Keduanya berada dalam satu tubuh tapi berbeda kepribadian dan putusan. Tetapi yang ku lihat tidak ada "Hode" pada sebuah permainan dalam teater Virtual Realita ini. Sepasang gender yang sesuai. Perdebatan virtual tidak lebih rumit dari perdebatan realitas.

"Aku butuh tempat aku yang jadi aku" rasanya ucapan Nike menceritakan setumpuk buku cerita mengenai ia dengan dunia imajinernya. Dunia realitas tidak bisa menerimanya, begitu juga yang dirasa Ryan ketika diajak ke alun-alun. "Bagaimana kalau ada orang yang lihat saya dalam kondisi seperti ini, kota ini kecil, banyak yang dikenal" sekilas yang ku dengar dari ucapan Ryan kepada dirinya yang lain 'Statik ek'.

Panggung mulai menjadi medan pertempuran antara id dan ego. Sampai di akhir, yang dapat berubah untuk mejalani realitas adalah Ryan, sementara Nike memilih bunuh diri karena merasa tertekan dengan Ibunya serta kehilangan dunia Imajinernya,

Dari sini, peran orangtua sangatlah penting. Seperti lirik Iwan Fals "Orangtua, pandanglah kami sebagai manusia, kami bertanya tolong kau jawab dengan cinta" menunjukan anak yang tertekan secara psikologis atas sikap orangtua. Dunia virtual atau dunia maya sama kejamnya. Sebagai gambaran, game character dalam teater dipilih sebagai wujud lain dari individu. Akun Instagram pribadi sebenarnya juga sama halnya. Akun Instagram di sini sebagai satu-kesatuan bentuk dari diri individu yang lain, dan dunia kesenangannya yang ada di dunia maya.

Sampai sini, gue takjub dengan penampilan teater KRST. Entahlah, sadar atau engga gue akhirnya nulis juga untuk malam ini.


Read More


oleh: Syahdan Husein


Bahasa merupakan cerminan dari suatu budaya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan Indonesia adalah tugas pemerintah yaitu Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud untuk menjaga, merawat dan memartabatkan Bahasa Indonesa sesuai dengan amanat UU. Selain itu, Bahasa Indonesia wajib digunakan di ruang publik. Televisi merupakan ruang publik. Sudah semestinya pemerintah perlu memerhatikan pola berbahasa di televisi sebab televisi memiliki pengaruh kuat dan membentuk wacana yang masuk ke rumah-rumah untuk menggoyah kebudayaan kita terutama dalam berbahasa Indonesia. Tulisan ini merupakan olahan dari penelitian saya yang berjudul “Breakout NET TV: Analisis Tindak Bahasa Campur Kode. Campur kode di televisi menjadi fenomena budaya populer hari ini. Bahkan perundungan anak Jaksel (Jakarta Selatan) di sosial media menunjukan bagaimana campur kode bahasa Inggris belum dapat diterima dalam masyarakat kita. Penggunaan campur kode juga dapat menggerus rasa nasionalisme di kalangan remaja di Indonesia terutaman dalam berbahasa.

Breakout merupakan acara musik di NET TV. Acara tersebut menyajikan pemutaran video klip baik dari musikus lokal maupun internasional. Breakout mengabarkan berita terkini mengenai sesuatu yang berkaitan dengan musikus dan karyanya. Selain itu, Breakout diisi penuh dengan bincang-bincang bersama musikus yang diundang. Kerap kali di antara kedua pembawa acara dan tamu yang diundang terdapat campur kode pada setiap dialognya.

Campur kode terbagi menjadi dua mancam, yaitu (a) campur kode ke dalam (inner code-mixing) dan campur kode ke luar (outer code-mixing). Campur kode ke dalam terjadi karena penyisipan unsur-unsur yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasi-variasinya, sedangkan campur kode ke luar adalah campur kode yang terjadi karena penyisipan unsur-unsur bersumber dari bahasa asing (Suwito, 1985:76). Hasil penelitian yang diperoleh dari acara Breakout yaitu terdapat campur kode seperti dialek Jakarta dan bahasa Inggris yang digunakan oleh penutur dan lawan tutur. Campur kode dalam bentuk tunggal seperti “hits banget”, dalam bentuk frasa seperti “ada first single”  dan dalam bentuk kalimat“ Alright guys sekarang juga ada salah satu performer dari guest star kita kali ini… Hmmm… Sapaya, sapaya.. Check this out guys”. Tentu dari kata yang dituturkan oleh pembawa memiliki padanannya seperti: lagu pertama, terkenal sekali, baiklah, bintang tamu, dan sebagainya.

Bahasa Indonesia merupakan bahasa politik yang tentu tidak bisa lepas dari serapan-serapan bahasa lain. Dalam beberapa dekade bahasa Indonesia berkembang dari bahasa melayu pasar hingga ke PUEBI. Pada afiksasinya pun ikut berubah seperti dari bahasa Belanda -ir yaitu (tolerir) menjadi –isasi yaitu (toleransi) yang diadopsi dari bahasa Inggris –itation. Tentu banyak upaya dari pakar-pakar bahasa untuk meng-Indonesiakan setiap kata asing yang ada. Ini merupakan upaya orang Indonesia untuk berdaulat dalam berbahasa. Bukan berarti anti-bahasa asing, tetapi berusaha mengembangkan bahasa Indonesia dengan mencari padanan-padanannya. Oleh karena itu, alangkah indahnya jika kita sebagai warga negara menghargai, mendukung, dan juga mengikuti atau mengkritik kondisi masyarakat dalam berbahasa Indonesia.

Menilik nasionalisme Turki, Frial Ramadhan dalam Journal Masyarakat Sejarah Indonesia (2017: 57) mengenai sejarah kebangkitan nasionalisme Turki pasca perang Balkan pada tahun 1912—1913. Gökalp mengadopsi semboyan “Turkisme/nasionalisme Turki, Islamism dan modernisasi” dengan berfokus pada penerjemahan setiap kosa-kata yang diambil dari bahasa asing harus diterjemahkan ke dalam kosakata Turki (Landau 1990:74, Gökalp; 1976:5). Kemudian, para intelektual Turki lainnya seperti Mehmet Emin Resülzade, Ali Hüseinzade dan Ahmet Ağaoğlu juga beberapa dari intelektual nasionalis yang hidup awal abad ke-20 bersepakat untuk memperkuat nasionalisme Turki dengan cara penggalian warisan bangsa Turki dari mulai musik hingga sastra. (Gökalp 1968: 31). Turki pada masa itu menunjukan taring nasionalismenya dalam berbahasa. Indonesia pun pernah mengalami hal serupa pasca-Kemerdekaan, bahkan jauh sebelum itu, pasca-Sumpah Pemuda.

Kita tidak bisa menilai jiwa nasionalisme seseorang hanya dari campur kode bahasa asing yang ia gunakan dalam berbicara. Akan tetapi, menjadi sesuatu yang lumrah bilamana kebiasaan ini dibiarkan dan digunakan sehari-hari oleh masyarakat secara masif dan sporadis. Dengan begitu, kita semakin tidak berdaulat di bidang bahasa, politik, dan budaya. Selain menunjukan lunturnya nasionalisme dari sisi penutur, Fenomena anak Jaksel juga merupakan tindak penyadaran dan menguatnya nasionalisme dalam berbahasa dari sisi penolaknya. Dari sini kita dapat mengetahui seberapa cinta orang itu terhadap bahasanya dengan menjunjung tinggi bahasanya serta ikut mengembangkannya. Sudah menjadi tugas pemerintah dan warga negara untuk bersama menjaga Bahasa Indonesia baik di ruang publik agar tetap menjadi bahasa persatuan yang mencerminkan tingginya kebudayaan dan jiwa Nasionalisme yang tidak ke-which-is-which-is-an.


DAFTAR PUSTAKA

Ramadhan Supratman, Frial. 2017.  Menjadi Muslim Barat atau Muslim Asia?: Warisan
 Intelektual Turki dan Konferensi Bandung 1955 Jurnal Sejarah. Vol. 1(1), 2017: 52 – 80.
http://jurnal.masyarakatsejarawan.or.id/index.php/js/article/view/48/36, 8 September
2017.

Suwito. 1983. Pengantar Awal Sosiolinguistik, Teori dan Problema. Surakarta: Hennary Offset 
Solo.

Dalam Jaringan:

https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2017/02/penggunaan-bahasa-indonesia-di-ruang-
publik-merupakan-amanat-undangundang



Read More
Previous PostPostingan Lama Beranda