Judul Buku : Oligarki Teori dan Kritik
Penyunting Buku : Abdul Mughis Mudhoffir dan Coen Husain
Pontoh
Penerbit Buku : Marjin Kiri
Cetakan : Pertama, Januari 2020
Ketebalan : XXIV +291 halaman
ISBN : 978-979-1260-95-4
Oligarki Rezim Jokowi Bukan
Salah Ketik: Review Buku Oligarki Teori dan Kritik
Jokowi
membentuk Staff Khusus Presiden dari generasi milenial karena dirasa mampu
merangkul kaum muda secara seremonial. Berbagai kritik pedas bergulir dengan
segala bentuk blunder yang mereka ciptakan sendiri. Mundurnya Belva dan Andi
Taufan dari Stafsus pun menjadi jalan keluar untuk mengecoh opini publik
perihal bisnis mereka baik mengenai penanganan Covid-19 maupun kartu pra-kerja
yang menjadi pokok permasalahan conflict of interest. Oleh karena itu, buku
Oligarki Teori dan Kritik terbitan Marjin Kiri menjadi paling menarik
untuk membahas fenomena lingkaran bisnis di pemerintahan Jokowi.
Buku ini adalah kumpulan
tulisan dari sembilan penulis yang mengaplikasikan dan sekaligus mengkritik
oligarki secara teori. Tulisan ini akan menjelaskan isi dari beberapa penulis
dalam buku Oligarki Teori dan Kritik tentang pandangan Richard Robinson
dan Vedi Hadiz dalam Reorganising Power in Indonesia, dan Jeffrey Winter
dalam bukunya Oligarcy. Muhammad Ridha adalah penulis yang mengawali
pembahasan oligarki. Menurut Aristoteles oligarki yakni pemerintahan yang
dikuasi oleh sedikit orang (rule by the few). Ia menyebut bahwa
“oligarki mendapatkan ruang politik yang sangat kondusif untuk mempertahankan
kepentingannya.” Menurut Ridha analisis Winters tentang oligarki tidak
ditempatkan sebagai oposisi dari demokrasi. Justru Oligarki dapat
mempertahankan dominasi mereka dalam demokrasi karena kekuatan material yang
mereka miliki. Menurut Ridha banyak bukti sejarah menunjukan bagaimana kalangan
yang kaya mengalokasikan kekayaan mereka untuk membayar pasukan, benteng atau
ksatria guna melindungi mereka dari ancaman perebutan kekayaan. Menurutnya
semakin besar kekayaan yang dimiliki, semakin besar pula ancaman terhadap
kekayaan tersebut. Sumber ancaman itu datang dari relasi horisontal (orang kaya
lainnya) dan vertikal (kelas bawah).
Tulisan
Abdil Mughis Mudhoffir mengutip definisi Oligarki dari Robinson dan Hadiz.
Oligarki adalah sistem relasi kekuasaan yang memungkinkan konsentrasi kekayaan
dan otoritas serta pertahanan kolektifnya. Pertahanan kolektifnya seperti
disebut di atas untuk melindungi kekayaannya (halaman 29). Jika
dikontekstualkan, peristiwa dibunuhnya Marsinah, Munir dan Salim Kancil adalah
bentuk pertahanan kolektif oligarki. Di sisi yang sama, menurut saya BuzzeRp
baik persona ataupun bot berusaha keras membentuk perspektif publik untuk mendukung
program-program pemerintah di sosial media. Alih-alih menyebut kebijakan
tersebut merugikan rakyat malah disebut menguntungkan dengan segala
ke-absurd-annya. Fenomena tersbut juga berupa bentuk pertahanan kolektif
oligarki yang membiayai mereka. Dalam konteks ini Made Supriatna menyebut
mereka (ormas, preman, polisi, tentara, BuzzeRp) sebagai enterpreneur yang
memanfaatkan kondisi relasi ini. Mudhoffir menyebut bahwa adanya kelas
borjuis atau kapitalis-kapitalis besar
pada umumnya dilahirkan oleh negara, sementara di Eropa tidak demikian.
Tentang korupsi Mudhoffir
menyebutkan “korupsi bukan disebabkan oleh adanya fragmentasi kekuasaan serta
serta interaksi-interaksi tertentu antara negara dan masyarakat, melainkan
sebagai produk dari hubungan-hubungan kekuasaan yang dibentuk oleh aliansi
politisi-birokrat dengan pengusaha yang menggunakan institusi-institusi dan
aturan formal negara sebagai instrumen dalam mengakumulasi dan mempertahankan
sumber daya ekonomi dan poltik.” (halaman 41). Dalam hal ini jelas apa yang
terjadi bagaimana anak Chairul Tanjung konglomerat menjadi anggota Stafsus dan
juga kasus surat Andi Taufan yang mengajurkan setiap camat mendukung
perusahaannya dalam menangani pandemi Covid-19.
Peristiwa Covid-19 yang
dikritik Ardy Syihab terhadap Martin Suryajaya dalam Suara Rakyat Bergerak menyebutkan “Sokongan negara di bidang
ekonomi terepresentasikan jelas dengan diterbitkanya Perppu No.1 Tahun 2020
tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Alih-alih
menyokong kebutuhan rakyat kecil, kebijakan ekonomi ini lebih banyak
menguntungkan pelaku swasta dan korporasi besar.”[1] Ardy berpendapat bahwa
Pasal 16, Bank Indonesia diberikan kewenangan untuk memberikan bantuan dana
pada korporasi melalui Surat Utang Negara menjadi dalih pemerintah untuk
menyelamatkan perusahaan karena krisis dan Bank Indonesia dapat memberikan
likuiditas besar-besaran. Begitu juga dari Pasal 5 negara memberikan penurunan
tarif pajak PPh badan menjadi 22% tahun 2020, 20% di 2022, dan 17% untuk wajib
pajak dalam negeri. Ini berarti korporasi dibebani pajak lebih sedikit.
Ardy menyebut kesalahan
logika Martin bahwa alih-alih perusahaan swasta akan hancur dan hanya negara
yang akan menjadi pemain tunggal ekonomi sampai menyebutnya sebagai revolusi
diam, justru negara berani pasang badan untuk merugi. Ardy menyebutkan
“Argumentasinya Martin Suryajaya yang menyatakan dimungkinkannya tata ekonomi
dunia baru, di mana sektor swasta akan remuk dan satu-satunya kekuatan ekonomi
yang signifikan adalah negara, dengan sendirinya terbantahkan.” Bahkan negara
berhutang demi hidupnya sektor swasta dan kelangsungan roda ekonomi
kapitalisme. Ardy melihat kapitalisme mengharuskan roda perekonomian terus
berputar dan negara dalam situasi menangani Covid-19 menjadi alat yang apik
untuk memenuhi keinginan oligarki.
Kembali kepada tulisan
Mudhoffir, korupsi juga disebabkan kebutuhan atas ongkos politik yang besar
dalam momen pemilu. Hal ini menjadi dorongan para politisi dan partai politik
mempertahankan pola hubungan patronase dengan para pengusaha yang telah
terjalin sejak orde baru. Pengusaha pun membutuhkan koneksi politik untuk
menjami kelancaran pengembangan bisnisnya yang daripadanya membutuhkan akses
dan proteksi dari negara melalui perizinan, konsensi, maupun kontrak.
Menurutnya dalam proses ini juga, elemen-elemen kekerasan non-negara juga
digunakan tidak hanya memberikan proteksi tetapi juga melakukan perampasan
secara langsung aset-aset yang diperlukan untuk pengembangan bisnis, seperti
yang disebutkan diatas perihal pertahanan kolektifnya.
Kemudian,
Sangaji dalam tulisannya juga seirama dengan Ridha dengan menyebut “demokrasi
liberal [senantiasa] berwatak oligarkis.” Ia mengutip Aristoteles mengenai
demokrasi dan oligarki. “its democracy when the free and the poor who are a
majority have the authority to rule” sebaliknya “it is oligarchy when
the rich and well born, who are few do.” Sangaji menyebutkan nama-nama
orang kaya sekaligus politisi untuk menjelaskan Oligarki di Indonesia. Ia juga
menyebutkan perihal oligarki di mana Luhut Binsar Panjaitan yang menjadi Menko
Bidang Kemaritiman dan Investasi pada periode kedua pemerintahan Jokowi
mengatakan perusahaannya menyuplai kayu ke pabrik furnitur Jokowi (halaman 81).
Seperti disebutkan juga dalam film “Sexy Killer” bahwa anak Jokowi juga
berkontak bisnis dengan perusahaan Luhut. Film tersebut benar-benar menelanjangi
bagaimana watak oligarki yang menghancurkan lingkungan demi keuntungan. Sangaji
berpendapat bahwa kemiskinan adalah buah dari yang kaya mengeksploitasi yang
miskin dan juga ketidakmerataan penguasaan kekayaan dalam masyarakat adalah
salah satu ciri kapitalisme (halaman 94). Demokrasi yang sesungguhnya adalah
demokrasinya orang miskin bukan sebaliknya demokrasi liberal atau demokrasi
kapitalis.
Coen
Husain Pontoh seperti penulis lain memberikan keterangan persepsinya
tentang demokrasi. Mengutip Ellen Meiksins Wood, Pontoh menulis bahwa demokrasi
(liberal) hanya bertujuan untuk menyelesaikan perselisihan di kalangan elit
melalui penciptaan aturan-aturan prosudural dan struktural yuridis. Sementara
hal-hal yang berkaitan dengan kemiskinan, keadilan, dan kesenjangan
sosial-ekonomi yang terjadi dalam masyarakat bukanlah prioritas utama demokrasi
(halaman 110). Pontoh dalam tulisannya menjelaskan bahwa menguatnya kekuasaan
oligarki tidak bisa dilepaskan dari dinamika ekonomi politik global. Oleh
karena itu, ia menulis dari perspektif poltik oligarki yang disebutnya sebagai Poliarki.
Menurut Pontoh, ada proses promosi dari politik luar negeri AS melalui NED (National
Endowment for Democracy) dengan dalih suntik dana bantuan khusus dari
Departemen Luar Negeri AS yang sebenarnya adalah dana untuk mempromosikan
poliarki dengan mengitervensi kebijakan suatu negara yang dinilai tidak sesuai
dengan sistem poliarki atau demokrasi berorientasi pasar. Aktivitas-aktivitas
politik NED juga secara terbuka mendanai pembangunan partai. Komponen kedua
adalah Office of Democratic Initiatives (ODI) yang dibentuk AS pada
tahun 1984 yang aktivitasnya sama seperti NED membiayai pemilu negara-negara
yang dijadikan target. Namun setelah ada pembagian tugas ODI bertugas mengelola
program-program penguatan demokrasi berdasarkan kerjasama
government-to-government, seperti mensponsori reformasi sistem yudisial,
pelatihan anggota parlemen nasional, dan mendanai pengadilan pemilu (electoral
tribunal) di negara-negara yang diintervensi (halaman 123). Pontoh juga
menulis mengenai Transnational Capitalist Class (TCC) dan Transnational
Corporation (TNC) yang sejatinya membuat keputusan dan mengontrol ekonomi
global. Dengan semakin menguatnya kelas kapitalis pada dekade ‘90an disebutkan
kebijakan neoliberal ke seluruh dunia semakin agresif, melalui sebutan yang
dikenal sebagai “Washington Consensus”. Kebijakan ini memiliki (10) poin, jika
diperas semuanya menjadi dua poin yaitu (1) liberalisasi pasar dunia dan (2)
restrukturisasi pasar internal dan integrasi global seluruh ekonomi nasional.
Tulisan
Intan Suwardi pun seirama dengan Pontoh, ia menyebutkan bahwa
institusi-institusi finansial global seperti International Monetary Fund
(IMF) dan World Bank mengatur relasi ekonomi-politik negara-negara selatan
seperti Indonesia dan memengaruhi kebijakan pemerintah. Dalam tulisannya, Intan
Suwardi mengeksplorasi bagaimana kekuasaan terkonsentrasi di tangan perusahaan
multinasional besar yang pada gilirannya memengaruhi dinamika politik oligarki
di Indonesia. Perusahaan ini memiliki kekuasaan oligopolistik berskala global.
Mereka berkerja dalam sistem persaingan oligopolistik, di mana sejumlah kecil
(dan jumlahnya semakin mengecil) perusahaan multinasional mendominasi produksi
dunia. Sebab itu Suwardi melihat ini merupakan gambaran konsentrasi dan
sentralisasi kapital dalam skala internasional. Pada tahun ‘90an menurut
Suwardi, usaha-usaha pemerintah Indonesia untuk menaikan upah minimum pasca
krisis ekonomi direspons dengan kritik pedas dengan mengatakan bahwa kebijakan
tersebut mengancam daya saing Indonesia di pasar investasi. Pada pembahasan ini
jika dikontekstualisasikan kita akan teringat bagaimana para pemangku kebijakan
ekonomi di Indonesia menciptakan RUU Cipta Kerja yang anti kesejateraan buruh
berdalih bahwa pabrik-pabrik di Indonesia akan pindah ke Vietnam karena
dianggap pekerja di Indonesia memiliki upah yang tinggi jika RUU ini tidak
disahkan.
Kemudian,
Robertus Robert menulis tidak jauh dari “Res Replubika”nya di mana demos
sebagai agen transformatif potensial yang dapat menghadapi invasi oligarki
terhadap polis. Namun di sisi lain, Robert menyadari bahwa demos
sangat rentan dicaplok oleh oligarki melalui politik populisme sektarian.
Robert memberi kalusul pertanyaan perihal siapa yang dieksploitasi oleh
oligarki dan menurutnya jawaban yang menjadi korban terbesar oligarki adalah demos
dan ranah publik. Oligarki sebagai kelas pemodal jelas melakukan penarikan
nilai-lebih terhadap kelas pekerja. Tidak hanya nilai lebih, Robert mengutip
Marx dari Capital, Vol. III. “kelas yang menguasai alat produksi (capitalist
class) dalam suatu zaman akan menguasai gagasan di zaman itu. Dengan
demikian, suprastruktur masyarakat direbut dan dibentuk oleh oligarki dengan
menananmkan nilai-nilai dukungan terhadap kapitalisme. Menurutnya dengan
mencaplok negara dan meleburkannya ke praktis bisnis, oligarki meniadakan demos
dalam politik. (halaman 188). Dalam perlawanan demos terhadap oligarki
Robert beranggapan melalui populisme sering digunakan sebagai jalan kembalinya demos.
Akan tetapi kritiknya bahwa demos kerap kali mengalami pergeseran dari demos
ke mayoritas primordial. Robert beranggapan bahwa perlawanan terhadap Oligarki
pada dasarnya bukanlah perlawanan dengan implikasi memperkuat segi-segi
mendasar relasi sosial yang lebih adil/humanis, melainkan perlawanan untuk
mengukuhkan kembalinya demos di dalam demokrasi.
Penulis
selanjutnya adalah Geger Riyanto. Ia menulis bahwa dari gagasan Foucault
menyampaikan bahwa subjek senantiasa mempraktikan diri bukan berdasarkan
inspirasi dari dalam dirinya sendiri melainkan dari model yang ditanamkan
kebudayaan, masyarakat, serta kelompok sosialnya. Dari sini saya melihat bahwa
oligarki dan nilai-nilai neoliberalisme yang tercermin dari kebijakan negara
tidak hadir begitu saja, akan tetapi melalui proses-proses konstruksi diskursif
yang ada di dalamnya seperti yang disebutkan Riyanto. Selain itu menurut
Riyanto, ada pula aktor yang menggalang dukungan populer melebihi yang lain dan
ketika memenangkan kontestasi, terlepas siapa yang memenangkannya, akan
mendudukan elite-elite yang mengonsentrasikan kekuasaan untuk segelintir pihak.
Pada sisi ini Riyanto menyebutkan bagaimana Jokowi maupun oposisi didukung oleh
oligarki media sehingga menurut saya kekuasaan tidak jauh dari mereka yang
menduduki fungsi-fungsi strategis di kursi pemerintahan. Melalui tulisannya
juga, Riyanto membedah penguasaan militer terhadap sektor bisnis yang didasari
dwi fungsi ABRI atau doktrin perjuangan ABRI. Doktrin tersebut menegaskan bahwa
ABRI mempunyai tanggung jawab memenuhi harapan rakyat mengawal pembentukan
pemerintahan yang bertanggung jawab, kuat, serta progresif. Pandangan ini yang
membuat ABRI sampai sekarang memiliki peranan di luar aktivitas non-militer.
Kita ketahui bahwa Luhut Binsar Panjaitan, Wiranto dan pensiunan militer
lainnya memiliki perusahaan besar yang membawahi banyak sektor sehingga
terdengar suara di kalangan mahasiswa bahwa jika ingin jadi pembisnis jangan
masuk Fakultas Ekonomi Bisnis, melainkan masuk Akademi Militer atau Akademi
Kepolisian.
Penulis
selanjutnya adalah Antonius Made Tony Supriatma. Supriatma memilih kata kartel
politik untuk menganalisis tindak-tanduk oligarki dengan bisnisnya. Kartel
politik adalah konsep utilitarian yang merupakan hubungan kerjasama di antara
para pengusaha untuk meminimalisasi persaingan dan memaksimalkan keuntungan.
Kartel tersebut memiliki arti sebuah hubungan untuk meminimalkan persaingan,
mengontrol harga, dan memaksimalkan keuntungan di antara para anggota kartel.
Di sini kita lihat bagaimana pengusaha mendominasi di DPR dan duduk di kursi
kabinet pemerintahan Jokowi. Yayasan Auriga Nusantara dan Tempo menemukan 262
orang atau 45,5% dari 575 anggota DPR terafiliasi dengan perusahaan. Nama
mereka tercatat pada 1.016 perseroan terbatas yang bergerak di berbagai sektor.[2] Tidak hanya legislatif,
ekskutif kursi kabinet juga diisi banyak pengusaha termasuk Presiden Jokowi.
Di pembahasan lain
Supriatma menggunakan kata “bosisme”. Bosisme adalah kata yang digunakan
Supriatma untuk menyebut orang kuat yang ada di lingkaran oligarki di
pemerintahan. Supriatma mengutip Sidel tentang kemunculan orang kuat yang
dihalangi oleh struktur kelembagaan dari negara itu sendiri, akan tetapi ia
memprediksi bahwa orang kuat dan dinasti politik akan muncul bersamaan dengan
pemilihan langsung (halam 235). Gagasan ini seirama dengan gagasan-gagasan di
atas bahwa demokrasi liberal lah yang mempunyai peran memunculkan oligarki itu
sendiri. Supriatma juga menyatakan bahwa kartel politik ini membentuk
stabilitas elite di tingkat nasional.
Menurutnya dengan menekankan stabilitas elit kita bisa menganalisis
sebuah sistem monopoli yang meminimalkan persaingan, menoleransi korupsi dan
kolusi, dan menjelaskan berbagai kegagalan fungsi institusi demokratis.
Menurutnya institusi ini buka hanya dibajak tapi juga sengaja dimatikan secara
fungsional tetapi dengan tetap menghidupkan makna simboliknya. Di poin ini kita
melihat bagaimana KPK dipimpin oleh Irjen Firli dari kepolisian yang sejalan
dengan pemerintah, putusan Mahkamah Agung dalam kasus BPJS yang dicueki oleh
rezim saat ini. Supriatma melihat akibat dari stabilitas elit ini kartel poltik
memberikan empat konsekuensi penting pada politik indonesia (halaman 239).
Pertama, pragmatisme politik. Kedua, tidak jelas hubungan oposisi dengan
pemerintah. Ketiga, pengebirian kekuatan massa rakyat. Keempat, menjinakan
rakyat. Poin pertama Supriatma memberi contoh bahwa pragmatisme politik membuat
kartel politik merangkul semua kalangan termasuk korban penculikan yang menjadi
agen dari para penculiknya. Poin kedua Supriatma melihat bagaimana oposisi
lebih sering sejalan ketimbang berbeda dalam hal merumuskan kebijakan, contoh
yang saya berikan adalah persetujuan mayoritas partai politik di DPR dalam berbagai
RUU yang lebih memihak ke pemodal ketimbang rakyat. Poin ketiga kartel politik
melakukan sistem perangkulan (inclusion) dan penyingkiran (exclusion).
Poin ketiga memiliki contoh seperti kasus lumpur Lapindo yang mencerminkan
menangnya kekuatan modal atas penderitaan rakyat dan juga kasus usaha mengebiri
Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK). Poin keempat kartel politik menjinakan massa
rakyat melalui persuasi dan manipulasi dalam iklim politik kartel.
Tulisan terakhir dalam
buku ini adalah Johannes Danang Widoyoko. Tulisan Widoyoko terdiri atas empat
bagian yaitu tentang teori dan persoalan ekonomi-politik kontemporer Indonesia,
tentang konglomerasi di Indonesia, tentang kapital negara dan kesimpulan dan
rekomendasi. Widoyoko menyebut bahwa kolongmerasi di Indonesia sesungguhnya
adalah wajah lama karena terkait dengan perusahaan atau keluarga yang menikmati
dukungan dari pemerintah Orde Baru. Widoyoko menanggap bahwa oligarki di
Indonesia muncul dan berkembang seiring dengan ekspansi ekonomi pasar
kapitalis, liberalisasi ekonomi awal 1980an yang menjadi moment penting
munculnya kapitalis-kapitalis domestik. (halaman 258). Dari sini, mengutip
Winters, Widoyoko membedakan elite dengan oligarki, elite bisa saja menduduki
posisi penting dalam institusi negara atau memimpin partai, tetapi bukan
oligarki jika tidak memliki sumber daya material. Oligarki menduduki posisi
strategi, baik formal maupun informal karena kepemilikan atas sumber daya
material yang bisa dipergunakan untuk membiayai kepentingannya. Melalui
tulisannya, Widoyoko menekankan perihal absennya pembahasan kapital negara
(BUMN) oleh Robinson, Hadiz dan Jeffrey Winters dalam bukunya. Menurutnya tentang
kapital negara, pendirian BUMN yang semula didirikan bukan untuk mencari laba,
saat ini justru diwajibkan untuk memberikan keuntungan. Dalam tulisannya, BUMN
(PLN) kerap menjadi mitra bagi perusahaan-perusahaan besar (batubara) yang
dimiliki oleh oligarki sekaligus elit di pemerintahan perihal. Akan tetapi
oligarki ini hanya menjadi mitra lokal perusahaan-perusahaan internasional
karena belum ada perusahaan Indonesia yang memiliki teknologi pembangkit. Sebagai
penutup ia menulis bahwa di balik kemunculan nama-nama baru pemilik kapital
adanya andil dari mendominasinya konglomerat lama. Widoyoko pun menyebut bahwa
pasca reformasi kekuasaan beralih dari militer ke kepolisian. Dengan demikian,
buku ini begitu menarik untuk dibaca oleh mahasiswa yang sedang progresif-progresifnya.
Teori dan kritik tentang oligarki menjadi analisis ekonomi-politik untuk
menentukan siapa musuh kita sebenarnya. Dari tulisan ini menjelaskan bahwa lingkaran
oligarki di Istana bukan lagi menjadi alasan Jokowi sebagai salah ketik.