Sebelum nonton teater KRST gue penasaran ceritanya gimana, Moksha bilang, teater anak Psikologi gelap, biasanya erotis. Gue sontak kebayang-bayang di kursi penonton sambil nunggu teater mulai.

Perjalanan gue ke TBY cukup awal, gak paling sih, biasa-biasa aja. Sepanjang perjalanan gue liat banyak banget burung terbang, hinggap di kabel dan tiang-tiang. Entah menyambut musim pasca-orba, atau musim kawin, gue ga tau juga. Mungkin gue rasa burung-burung protes, hutannya hilang dan mereka pun invansi ke kota dengan semangat melawan, haha sotoy.

Sebelum ke kursi penonton gue rakab sedikit, iya sedikit-sedikit nambah, sebat aja kayaknya ga cukup untuk ngadepin teater gelap yang bakal gue nonton nanti. Pas rasanye cukup gue masuk beli tiket, lumayan nunggu lama mulainya. Sambil nunggu, gue keluar rakab lagi, serasa cukup, gue balik masuk ke kursi pojok sebelah kiri ke arah panggung. Agak lama gue nunggu, gue keluar lagi, serasa cukup, gue masuk lagi. Sekian lama menunggu, teater dibuka oleh MC yang rasanya gue mulai jadi atlet lompat jauh.

MCnya kaku kaya penyiar TVRI 80an, penonton di sebelah gue rasanya udah males nanggepin MCnya, tapi gue nikmatin aja, rasanya kaya nonton wayang jepang. Yang gue kaget, MC menyuru kita berdoa sebelum pementasan dimulai, gue heran, ini teater apa lomba Pildacil, sekularitas mulai ngoceh nih haha. Tapi gpp, ambil positifnya aja, sesuatu yang baik, untuk mengingat tuhan dalam setiap aktivitas.

Adegan pertama, penonton diajak menyaksikan gadis SMA bunuh diri di kamarnya. Setelah siaran TV yang memberitakan matinya gadis itu, datang Statik ek, dan Ame Yume sebagai tokoh game character dari si gadis Nike, dan pria durhaka bernama Ryan.

Kedua tokoh karakter berdialog dengan kedua pemiliknya, gue lihat ada semangat cosplay yang sama, dari pakaian tokoh imajiner tersebut. Statik ek di sini merupakan aku yang bukan aku dari Ryan, begitu juga Ame Yume dengan Nike. Ryan dan Nike adalah pecinta game yang luput dari kejaran di luar dunia virtualnya.

Gamer yang kehilangan kontak dengan realitasnya menjadi masalah bagi orang-orang di sekitarnya. Ayah Ryan tidak suka melihatnya bermain terus dan ngstuck di zona nyaman sebagai pengangguran. Ibu Nike juga demikian, ia tidak suka anaknya melakukan sesuatu selain belajar dan berprestasi. Ibu Nike lebih keras dari Ayah Ryan dalam menghadapi anaknya. Dialog-dialog dipenuhi ceramah dari orangtua dan kampanye anti sampah-masyarakat (pengangguran bermain game online), anti-narkoba ("Sekali coba, the end!") sontak gue langsung inget Likin Park, "sekali coba, Chester Bennington!" dan kampanye anti-hedonisme (larangan game online untuk bersenang-senang).

Antartokoh dengan game characternya merupakan id dan ego. Keduanya berada dalam satu tubuh tapi berbeda kepribadian dan putusan. Tetapi yang ku lihat tidak ada "Hode" pada sebuah permainan dalam teater Virtual Realita ini. Sepasang gender yang sesuai. Perdebatan virtual tidak lebih rumit dari perdebatan realitas.

"Aku butuh tempat aku yang jadi aku" rasanya ucapan Nike menceritakan setumpuk buku cerita mengenai ia dengan dunia imajinernya. Dunia realitas tidak bisa menerimanya, begitu juga yang dirasa Ryan ketika diajak ke alun-alun. "Bagaimana kalau ada orang yang lihat saya dalam kondisi seperti ini, kota ini kecil, banyak yang dikenal" sekilas yang ku dengar dari ucapan Ryan kepada dirinya yang lain 'Statik ek'.

Panggung mulai menjadi medan pertempuran antara id dan ego. Sampai di akhir, yang dapat berubah untuk mejalani realitas adalah Ryan, sementara Nike memilih bunuh diri karena merasa tertekan dengan Ibunya serta kehilangan dunia Imajinernya,

Dari sini, peran orangtua sangatlah penting. Seperti lirik Iwan Fals "Orangtua, pandanglah kami sebagai manusia, kami bertanya tolong kau jawab dengan cinta" menunjukan anak yang tertekan secara psikologis atas sikap orangtua. Dunia virtual atau dunia maya sama kejamnya. Sebagai gambaran, game character dalam teater dipilih sebagai wujud lain dari individu. Akun Instagram pribadi sebenarnya juga sama halnya. Akun Instagram di sini sebagai satu-kesatuan bentuk dari diri individu yang lain, dan dunia kesenangannya yang ada di dunia maya.

Sampai sini, gue takjub dengan penampilan teater KRST. Entahlah, sadar atau engga gue akhirnya nulis juga untuk malam ini.


Read More