Judul Buku : Tuan Tanah Kawin Muda Hubungan Seni Rupa-LEKRA 1950-1965

Penulis       : Antariksa

Penerbit       : Yayasan Seni Cemeti

Tahun Terbit: 2005, Cetakan 1

Tebal Buku : 128 Halaman


  Kumpulan tuisan Tuan Tanah Kawin Muda Hubungan Seni Rupa-Lekra ditulis oleh Antariksa diterbitkan tahun 2005. Penelitian ini berfokus pada rentang waktu 1950-1965. Buku ini ditulis karena absennya tulisan seni rupa dengan pendekatan ekonomi - atau politik seni rupa pasca tahun ‘65 sehingga aktivitas seni rupa dianggap sebagai sesuatu yang tunasejarah, tunapolitik dan tunasosial. Dalam hal ini, politik memiliki peran yang dominan dalam mempengaruhi kesenian khususnya di tubuh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).

  Judul buku dan cover buku diambil dari lukisan Djoko Pekik. Lukisan tersebut dihasilkan dari pengalaman Djoko Pekik saat praktik Turba (turun ke bawah). Pada halaman 62 diceritakan bahwa seorang petani bernama Pak Noye dirampas tanahnya oleh Haji Dawam Roji seorang tuan tanah yang menjabat sebagai ketua DPR. Dengan kekuasaannya, Haji Dawam Roji bermain merampas tanah-tanah wong cilik. Tidak secara kebetulan penulis buku memilih judul lukisan Djoko Pekik untuk dijadikan judul dan cover bukunya. Saya menduga penulis buku memiliki kesamaan idiologi dengan Djoko Pekik. Di awal buku dijelaskan posisi penulis dalam membangun argumentnya dengan mempertanyakan anggapan seniman kontemporer tentang estetika dan bukan estetika seni rupa Lekra.

  Lekra dideklariskan pada 17 Agustus 1950. Dibentuknya Lekra didasari pada anggapan gagalnya Revolusi Agustus. Kegagalan Revolusi tersebut merupakan kegagalan para pekerja  kebudayaan dalam membangun kebudayaan rakyat yang demokratis. Kegagalan itu menandakan bahwa kebudayaan kolonial dan feodal masih tetap langgeng yang membuat rakyat Indonesia bodoh, tertanam jiwa-pengecut, dan penakut sehingga kebudayaan tersebut menyebarkan watak lemah dan rasa inferior sehingga tidak berkemampuan untuk berbuat dan bertindak.

Menurut laporan Lekra, Menjambut Kongres Kebudajaan, pada tahun 1951 menyatakan bahwa Lekra memiliki 21 cabang di seluruh Indonesia. Memasuki '60-an, Lekra menjadi organisasi kebudayaan yang mapan. Pramoedya Ananta Toer pada tahun '63 menyatakan bahwa anggota Lekra jumlahnya lebih dari seratus ribu orang. Sesuatu yang membedakan seni rupa Lekra atau bukan yaitu pada kandungan idiologis dan cara produksinya. Dalam wawancara dengan Oey Hay Djoen di halaman 32 disebutkan bahwa Lekra itu lebih banyak seperti jaringan, tidak ada kartu keanggotaan dan tidak ada bayar iuran di Lekra. Lekra tugasnya lebih banyak mengkoordiansi, menghubungkan organisasi-organisasi yang sudah ada dan menawarkan hal-hal baru kepada mereka tanpa ada unsur paksaan.

Dari segi estetika Lekra mengacu pada realisme sosialis dan romantisme revolusioner. Lekra bersikap bahwa perjuangan kebudayaan tidak bisa dipisahkan dari perjuangan rakyat. Pada halman 52 perumusan pedoman gerak Lekra disebut prinsip 1-5-1 dengan berlandaskan asas politik sebagai panglima, menjalankan lima kombinasi, yaitu meluas dan meninggi, tinggi mutu idiologi dan tinggi mutu artistik, memadukan tradisi yang baik dan kekinian yang revolusioner, memadukan kreativitas individu dan kearifan massa, dan memadukan realisme sosialisme dengan romantik revolusioner dengan cara kerja turun ke bawah dengan menerapkan “Tiga sama” yakni kerja bersama, makan bersama, dan tidur bersama maksudnya pekerjaan yang sama, jenis makanan yang sama, dan kondisi atau adat tidur yang sama bukan berarti tidur bersama seperti pengantin baru.

  Menilik sepak terjang seniman Lekra di Yogyakarta, Affandi pernah terpilih menjadi anggota DPR yang dicalonkan oleh PKI dengan janji memajukan kebebasan berekspresi. Hal ini merupakan bukti bahwa seniman memiliki pengaruh yang cukup besar di Yogyakarta dan sekaligus seni tidak melulu masuk ke ranah estetik tetapi juga masuk ke ranah politik. Pada tahun '50an Kota Jogjakarta adalah kota kesenian terpenting di Jawa. Menurut Claire Holt pada tahun 1955 terdapat 74 organisasi yang terdadtar secara resmi. Pada halaman 16, Hesri Setiawan salah seorang tokoh penting Lekra berpendapat bahwa kota Yogyakarta telah bergeser dari kota politik menjadi kota budaya atau kota benteng kebudayaan nasional. Sejak dipindahkannya ibu kota ke Jakarta, Yogyakarta meninggalkan statusnya dari kota politik menjadi kota budaya dan sampai saat ini tumbuh menjadi kota pelajar.

Seni rupa Yogyakarta  pada saat itu didominasi oleh seniman Lekra. Menurut yang tertulis dalam buku mengenai perbedaan seniman Yogyakarta dan Seniman Bandung yaitu pedoman seniman Yogyakarta yang menganut seni untuk rakyat dan pedoman seniman Bandung seni untuk seni. Seni rupa Lekra menganut realisme sosialis sementara seniman-seniman di Bandung dianggap sebagai seniman antek kolonial yang menganut seni rupa abstrak dan formalis.

  Hesri Setiawan juga mengkritik seniman yang hanya menampilkan bentuk ketimbang isi. Pernyataan ini senada dengan istilah kambing berjenggot, yang berjenggot itu kambing maksudnya orang-orang ketika itu yang berambut gondrong, berewok dengan baju compang-camping yang dipengaruhi gaya Bohemian seniman '45 berpenampilan seperti itu agar disebut seniman. Jika dikontekstualkan hari ini bahwa beberapa orang yang berpenampilan yang sedemikian bedanya itu hanya semata-mata agar dianggap seniman tanpa disertai ilmu dan keahlian di bidang seni.

  Buku ini memberikan pemahaman bagi pembaca tentang bagaimana seni rupa yang dihasilkan Lekra dapat memberi kebermanfaatan bagi rakyat dan turut menghasilkan seni yang diproduksi dari hasil beleven dan meleven yaitu mengalami, menghayati dan ikut serta merasai apa yang dialami, dihayati, dirasai orang lain. Selain itu, buku ini juga menjelaskan hubungan Lekra dengan PKI, Soekarno, serta lembaga-lembaga kebudayaan termasuk kelompok-kelompok yang kontra dengan idiologi Lekra.

  Kekurangan buku ini ialah sedikitnya penjelasan mengenai seni rupa itu sendiri, lebih banyak membahas sejarah Lekra serta pengalaman pribadi dari anggotanya ketimbang menjelaskan gagasan-gagasan seni rupa berikut filosofisnya dari sudut pandang Lekra. Pembahasan seni rupa rasanya memiliki porsi yang sedikit. Isi buku juga hanya terpaku dengan persoalan pelukis tidak dengan jenis seniman lainnya seperti pematung dll. Selebihnya buku ini cukup berisi dan bahasanya mudah dimengerti. Buku ini cukup memberi nutrisi otak dan menyuntik semangat seniman untuk melawan tuan -tuan di sekitar yang suka merampas tanah.
Read More