Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek-dikti) tidak berhenti berusaha menciptakan perubahan yang lebih baik bagi Perguruan Tinggi Negri (PTN) di Indonesia. Namun dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh Perguruan Tinggi terkesan hanya disibukan persoalan birokrasi dan sekadar menggota-ganti sistem kurikulum saja ketimbang fokus terhadap permasalahan biaya kuliah yang semakin tahun kian mahal. Oleh sebab biaya kuliah yang mahal, masyarakat pun semakin sulit menjangkau akses pendidikan khususnya perguruan tinggi.

Setiap tahun PTN hanya menerima sekitar 16% dari pendaftarnya. Kemudian daripada itu, menurut data beberapa tahun silam, pembiayaan untuk program bidikmisi dari 152.097 yang mendaftar hanya 31.908 mahasiswa saja yang diterima. Terjadi persaingan ketat untuk mendapatkan pendidikan gratis dan bermutu. Faktor utama pendorong orang-orang mendaftarkan dirinya ke PTN adalah biaya yang lebih murah dari Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Akan tetapi, faktanya sekarang ini banyak PTN memasang tarif tinggi menyamai PTS bahkan ada yang melampuinya dengan alasan menyesuaikan harga pasar.

Pilihan bagi orang-orang yang tidak diterima PTN pun terbagi dua, sebagian memilih masuk PTS dengan biaya yang cukup mahal, sebagiannya memilih bekerja karena tidak sanggup membayar biaya kuliah. Ini menjadi persoalan negara ketika mayoritas kursi di PTN diisi oleh kalangan yang mampu secara ekonomi saja bukan yang lebih mampu secara kapasitas kemampuan akademik. Kampus lebih memikirkan sumber-sumber keuangan kampus ketimbang masalah ketimpangan di kampus itu sendiri. Orientasi pendidikan menjadi bergeser dari cita-cita luhur mencerdaskan kehidupan bangsa ke arah menjadikan pendidikan sebagai komoditas yang menghasilkan profit laba.

Beberapa langkah untuk mewujudkan biaya kuliah gratis di PTN adalah sebagai berikut. Pertama, memangkas anggaran kementerian yang terbukti boros, kemudian setiap anggaran kementrian yang diajukan perlu ditimbang ulang dari segi urgensinya terhadap kepentingan rakyat, contohnya mengurangi anggaran di Kementrian Pertahanan dan Kementrian Agama yang mendapat anggaran lebih tinggi ketimbang anggaran Kemendikbud dan Kemenristek-dikti. Kedua, membuat kebijakan pajak untuk pendidikan bagi perusahaan-perusahaan sebagai pengganti dari CSR yang kerap lebih mengedepankan kepentingan perusahaan. Ketiga,  membangun gerakan yang diisi oleh mahasiswa, buruh dan tokoh-tokoh intelektual untuk mewujudkan biaya kuliah gratis.

Anggaran untuk pendidikan harus lebih diutamakan, hal yang sangat dibutuhkan masyarakat ketimbang dua kementrian tersebut. Oleh karena itu, menaikan Anggaran yang berfokus pada subsidi biaya kuliah itu lebih dirasakan manfaatnya oleh rakyat Indonesia ketimbang hal-hal yang tidak jelas dianggarkan oleh kedua kementrian tersebut. Seperti pengadaan helikopter dan Al-Qur’an yang dikorupsi akhir-akhir ini. Hal tersebut menunjukan bahwa sebagian anggaran yang diterima kedua kementrian tersebut dapat dialihkan ke Kemenristek-dikti. Perlu ditekankan bahwa kenaikan anggaran tersebut tidak lain dan tidak bukan khusus untuk mensubisidi biaya kuliah agar gratis serta untuk keperluan penunjang pendidikan itu sendiri seperti fasilitas dan sebagainya, bukan untuk persoalan persoalan administratif lainnya sehingga dapat dirasakan langsung dampaknya kebijakan yang memihak kepada rakyat kecil.

Pajak utuk pendidikan yang ditarik dari perusahaan ini perlu diwacanakan sebab pendapatan pajak negara yang ditarik dari perusahaan-perusahaan cukup tinggi jumlahnya. Sumber pembiayaan inilah yang akan mendukung biaya kuliah gratis di seluruh PTN di Indonesia. Kebijakan ini telah diterapkan di negara Chile tahun 2016 silam. Kebijakan yang diterapkan merupakan implementasi tuntan masyarakat Chile dalam mewujudkan free education yang melawan neoliberalisasi ranah pendidikan di Chile. Kesuksesan perjuangan pemuda di Chile untuk menggratiskan pendidikannya perlu kita tiru untuk melangkah kedepan agar terwujudnya pendidikan gratis di Indonesia. Di samping itu, dengan semangat yang sama, negara sudah menerapkan “Pajak Dosa” bagi perusahaan-perusahaan rokok dalam menyiasati defisit anggaran BPJS. Negara rugi karena harus menanggung biaya perawatan yang membengkak dari penderita penyakit yang disebabkan rokok. Sudah semestinya juga negara menerapkan pajak untuk pendidikan kepada perusahaan-perusahaan di Indonesia.

Kemudian, membentuk gerakan pendidikan adalah kunci untuk mendorong perubahaan yang diinginkan. Selama ini pergerakan mahasiswa hanya berpangkal pada gerakan moral yang senantiasa meributkan persoalan-persoalan elit politik semata. Begitu juga dengan serikat-serikat buruh terpecah belah satu sama lain sebab terbenturnya kepentingan-kepentingan partai politik yang berkoalisi dengan aktor-aktor di serikat buruh tersebut. Lebih buruknya, di kalangan akademisi sendiri sibuk berpolitik serta mengeluarkan kebijakan cenderung berpihak pada pemodal dan mekanisme pasar yang tidak pro rakyat kecil. Dalam hal ini, membentuk gerakan pendidikan yang besar merupakan strategi untuk mewujudkan kedua solusi yang disebutkan sebelumnya. Dengan demikian, mewujudkan biaya kuliah gratis tidak hanya sekadar angan-angan, akan tetapi cita-cita luhur yang terus diperjuangkan.

Read More