Melawan Perbudakan Kapitalis di UGM
Oleh: Syahdan Husein



“Alangkah kotornya isi kepala tengkorak kekuasaan.Itulah sebabnya, kepala raja harus dihias dengan mahkota” kata Aryo Bekti. (W.S Rendra 1986:144)

Setengah abad lebih perguruan tinggi di Indonesia kokoh berdiri. Setelah kemerdekaan Indonesia perguruan tinggi banyak dibangun khususnya di kota Yogyakarta, seperti Universitas Gadjah Mada berdasarkan PP. No. 23 Tahun 1949. Universitas Gadjah Mada lahir dari embrio perjuangan ber-credo “merdeka atau mati” maka lahirlah UGM pada tanggal 19 Desember 1949 yang berstatus perguruan tinggi swasta. UGM merupakan salah satu perguruan tinggi yang didirikan untuk  perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, juga sebagai perjuangan menjadikan pendidikan yang lebih baik dari zaman kolonial. Perguruan tinggi pada saat itu hanya dapat dikenyam oleh kaum kelas atas, dari kalangan orang yang mampu secara ekonomi saja. Besar kemungkinan tidak bisa dinikmati oleh kaum Murba yang disebutkan Tan Malaka, Marhaen oleh Soekarno, keduanya adalah proletar atau rakyat miskin yang dihisap oleh kapitalisme yang serakah akan nilai lebih (profit).

Beberapa orang berpendapat bahwa pendidikan itu seperti air dan udara. Artinya,  pendidikan adalah hal yang mudah diperoleh dan sangat penting bagi kehidupan. Akan tetapi, perguruan tinggi saat ini mulai dirasa tidak penting lagi, dan begitu sulit didapatkan karena biaya pendidikan yang mahal dan persaingan ketat pada seleksi masuk. Namun pada sebaliknya, ada orang-orang yang dengan begitu mudahnya menempati kursi-kursi sekolah karena memumpuni secara ekonomi dan pengetahuan. Karena pendidikan yang mereka dapat lebih baik daripada mereka yang kesulitan dalam berbagai hal. Oleh sebab itu, perguruan tinggi mulai dirasa turun kualitasnya seiring masalah-masalah yang muncul dalam pendidikan saat ini. Diperburuk lagi oleh mahasiswa yang hanya disibukan kuliah dan berkonsentrasi hanya untuk menjadi pekerja untuk memasok kebutuhan-kebutuhan perusahaan seperti para pribumi zaman kolonial yang dibuat sibuk mengenai seputar pekerjaan saja sehingga tidak tahu akan arti pentingnya pendidikan itu sendiri.

Oleh karena itu, mereka yang tidak sanggup masuk perguruan tinggi hanya dibuat sibuk bekerja dan terus dieksploitasi tenaga dan akal sehatnya sehingga pendidikan menjadi suatu hal yang tak akan terpikirkan olehnya. Bukankah orang kuliah supaya dapat bekerja? Apa salahnya univeristas melayani pos-pos pekerjaan yang sudah disediakan oleh modal dan pemerintah? Bukankah manusia butuh makan? Bagaimana nasib mahasiswa nanti? Para pendidik mendadak kritis ( yang banyak menimba inspirasi dari Paolo Freire) menenggarai sikap ini biasanya muncul karena putus asa (politic of despair) yang akhirnya menghasilkan sikap sinis (politic of cynism) (baca: Henry Giroux “Pedagogy of the Depressed”, 3) disebut politik dalam arti bahwa sikap itu menjadi strategi untuk membentengi diri.

Dahulu tokoh-tokoh mahasiswa Indonesia di Belanda seperti Mohammad Hatta, Abdul Majid, Ali Sastro, dan Muhammad Natsir yang tergabung dalam Perhimpunan Indonesia (PI) sangat berani mengatakan akan hal-hal mengenai kemerdekaan bangsanya.Tulisan-tulisan mereka dimuat di media cetak “Indonesia merdeka”, keberanian seorang mahasiswa di tanah penjajah di mana mereka mengenyam pendidikan adalah suatu fenomena yang mengguncangkan pihak penjajah. Mereka sungguh tidak lembek dalam tulisan-tulisannya, sekalipun mereka dikriminalisasi oleh Pemerintahan Belanda yang akan memenjarakan mereka, mereka tetap konsisten menyatakan perlawanan dihadapan hakim dalam persidangan. Inilah contoh hasil dari pendidikan yang melahirkan kemerdekaan bangsa Indonesia, bukan hanya menjadi tenaga pekerja dan menjadi penyelenggara acara (Event Organizer) saja.

Perubahaan paradigma pendidikan saat ini merupakan gejala dari semakin beringasnya kapitalisme di Indonesia, J.P Sartre filusuf prancis pernah mengatakan,“Prancis adalah negri penuh dusta, pemerintah menutupi fakta-fakta, juga ada optimisme yang tidak sehat yaitu merubah rakyatnya menjadi masyarakat konsumen”. Apakah ada kesamaan dengan Universitas Gadjah Mada? wallahu a'lam bishawab. Sartre menyebut adanya semacam pembudakan teknokratik berganda dan sekaligus menciptakan manusia yang mempunyai semangat konsumen; artinya orang yang keinginan-keinginannya dibentuk menurut keingan-keingan orang lain. Semuanya itu merupakan kenyataan sekarang, dan berhubungan dengan usaha-usaha kapitalisme untuk mempertahankan kedudukannya. Lulusan pendidikan dipandang sebagai barang dagangan (barang konsumsi) dari hasil produksi sehingga pasar dan gerak pasar menentukan sekali dalam proses produksi manusia berpendidikan di Indonesia. Penulis setuju dengan ungkapan bahwa pendidikan bukanlah untuk sekelompok manusia, sekelompok dunia industri, segerombolan mafia, melainkan pendidikan untuk semua orang dan kalangan.

Mahasiswa kini telah dinina-bobokan oleh kegiatan-kegiatan yang banyak dan pemberian tugas yang menumpuk. Suatu aksi demonstrasi dicap bukanlah nilai-nilai ke-UGM-an, dan jika boleh penulis menyarankan agar penyelenggara Universitas mempelajari lagi sejarah UGM dan nilai-nilai filosofis dari simbol-simbolnya. Penulis tidak menggunakan kata pejabat sebab pejabat berhubungan dengan kedudukan, kursi dan kepegawaian saja, sedangkan penyelenggara mengaitkan soal tugas, tanggung jawab dan kepemimpinan. Sikap Universitas yang terlalu defensif kepada mahasiswa yang dirasa kritis, akan melahirkan kebijakan-kebijakan yang tidak populis dan tidak demokratis dengan kata lain kebijakan yang ngawur.

UGM’s style adalah jargon yang terus dicekoki oleh pemimpin-pemimpin di UGM. Penulis curiga ini adalah kerja mesin antropologis yang digunakan zaman orde baru dulu,  mesin yang melahirkan konsep “manusia Indonesia seutuhnya”. Ada manusia utuh dan bukan manusia utuh , manusia Indonesia dan bukan manusia Indonesia, manusia yang dianggap tidak utuh jelas para eks tahanan politik 1965, yang status kewarganegaraanya pun nomor dua karena terus menyandang cap “eks tapol” (dijelaskan dalam buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu karya Pramoedya A.T ). Konsep itulah yang semata-mata untuk mengkonstruksi paradigma rakyat agar manut dan membenci lawan politisnya sehingga melegitimasi kekuasaan Soeharto sampai 32 tahun lamanya.

Berangkat dari istilah “nuda vita” seorang Pemikir italia Giorgio Agamben, ia menyatakan setiap kehidupan tampil dalam forma yang telah diselubungi, dibentuk, dan dimaknai secara sosial, politis, dan ekonomi. Akibatnya, tercipta konsep siapa itu mahasiswa UGM dan bukan mahasiswa UGM, senantiasa mahasiswa menjadi identitas yang tidak perawan. Implikasinya, pemimpin-pemimpin Universitas menggeser bidang yang sepenuhnya bersifat antropologis menjadi sepenuh-penuhnya politis. Penulis mengira ini  adalah cara-cara politis pemimpin-pemimpin UGM agar menciptakan kekondusifan di UGM sehingga dikira tidak goyang lalu bisa naik menjadi mentri yang dirasa lebih kece ketimbang hanya menjadi seorang pemimpin sebuah Universitas. Akan tetapi, sangat disayangkan jika cara-caranya itu sampai mengebiri kekeritisan mahasiswa dengan mengecap mahasiswa yang kritis seakan-akan “subversif” dan “provokator” adalah bukan mahasiswa UGM (mudah-mudahan ini salah, semoga menjadi dosa dan prasangka penulis saja).

Penulis bukan seluruhnya tidak setuju dengan nilai-nilai ke-UGM-an yang sering disebut-sebutkan itu. Bung Hatta menuliskan “tanggung jawab seorang akademis adalah intelektual dan moral, ini terbawa oleh tabiat ilmu itu sendiri yang ujudnya mencari kebenaran dan membela kebenaran” (1983:3). Henri Begerson (1859-1941) seorang filusuf prancis, membedakan dua macam moralitas, moral statis dan moral dinamis. Moral statis timbul sebagai hasil desakan sosial (social pressure), yang bertujuan mempertahankan adanya masyarakat itu. Moralitas ini terdiri dari perintah-perintah dan larangan-larangan yang melindungi kepentingan masyarakat atau social group tertentu. Sebaliknya moral dinamis bukan hasil dari paksaan sosial, moral ini bersifat personal, muncul terutama lewat orang-orang yang punya intuisi kreatif. Ia tidak dilaksanakan menurut norma hukum, tetapi bedasarkan cita-cita yang luhur dan kemauan yang jujur. Menurut pandangan penulis, yang dimaksud Bung Hatta di sini adalah moral dinamis, yang mana mahasiswa dan penyelenggara universitas selaku akademisi mempunyai cita-cita luhur dan kemauan yang jujur. Juga merujuk pada pengertian “Intellect”, (dalam kamus longman bahasa inggris kontemporer edisi ke-3 tahun 2001, artinya “the ability to understand things and think intelegently”). Jadi, sudah sepatutnya mahasiswa dan penyelenggara universitas selaku akademisi yang disebut kaum intelek harus bertanggung jawab atas intelektualitas dan moral. Selain itu wajib juga bagi seorang akademisi tidak boleh menutup-nutupi suatu hal, mengutamakan sikap transparansi sebab Prof. Faruk (Guru besar FIB UGM) berkata "transparansi adalah  nilai akademis". Oleh karena itu, transparansi harus dijunjung tinggi sehingga tidak banyak menimbulkan kecurigaan, buruk sangka dan dosa-dosa lainnya.


      Sebagai penutup tulisan ini, penulis mengutip kata seorang pskiater jerman Dr. Robbert  Ritter “satu bangsa yang menjauhi kehendak budinya, bangsa yang sedemikian ta’kan bertambah mulia”. Jadi, mahasiswa selaku kaum intelek dan akademisi, selain harus bermoral dan berakhlak juga harus berani menjungjung kebenaran, berani mengkritisi baik dalam perkuliahan maupun diluar proses ajar-mengajar. Mari bergerak membangun gagasan besar, dimulai dari mengkritisi diri sendiri, agar terwujudnya cita-cita bangsa kita, dimulai dari Universitas Gadjah Mada kita tercinta. Penulis hanya khawatir kelak dalam dunia pendidikan hanya akan melahirkan pelacur-pelacur intelektual yang menjual dirinya kepada mucikari (kapitalis) sehingga perguruan tinggi hanya menjadi lapak mucikari dalam menjalankan bisnisnya.  Maka dari itu, bangsa mahasiswa harus berani menolak komersialisasi pendidikan dan berani mengkritisi kebijakan yang salah di UGM kita tercinta. Bangsa mahasiswa jangan mempermulus proses mekanisme manusia dan dehumanisasi dimana manusia semakin terkikis kemanusianya yang diciptakan oleh kapitalisme menurut apa yang dikemukakan oleh Joseph Schumpeter. Musuh kita bukan lagi kebodohan, tapi pembodohan. Bangsa mahasiswa jangan mau memupuk kapitalisme sehingga ia subur dan lebat di dalam ranah pendidikan kita. Perguruan tinggi dan mahasiswa saat ini harus lebih baik dari zaman penjajahan.





DAFTAR PUSTAKA

Damanik, A. 2009. Pendidikan Sebagai Pembentukan Watak Bangsa, Yogtakarta: USD.

Hatta, M. 1983. “Tanggungjawab Moral Kaum Intelegensi” dalam Cendikiawan dan
PolitikJakarta: LP3ES.

K.H, Ramadhan., dan Winarsih. 1967. “Sastre, kita harus menentukan nilai-nilai kita sendiri
dalam Budaya Jaya , Jakarta: DKJ. 

Kladen, Leo. 1973. “Antara lekuasaan yang stabil dan kemerdekaan intelektuil”  dalam Budaya
Jaya, Jakarta : DKJ. 

Mulyanto, D. 2011. Marx, Kapital & Antropologi, Bandung: Ultimus.

Robertus, R., dan  Boli, T.H. 2014. Pengantar Sosiologi Kewarganegaraan dari Marx sampai
Agamben, Yogyakarta : Marjin Kiri.

Soekarno. 1964.  Dibawah Bendera Revolusi, Cet. III , Jakarta: Panitia Penerbitan di bawah
pimpinan H. Mualliff Nasution.

St. Sunardi. 2004. Tahta Berkaki Tiga Kepemimpinan Intelektual dan Moral Perguruan Tinggi,
Yogyakarta: USD.



.
           

Read More