Pers mahasiswa mempunyai catatan sejarah yang panjang bagi bangsa Indonesia. Persma ikut andil dalam perubahan sosial dan politik yang kerap tetjadi dari era pra-kemerdekaan – reformasi. Persma sering dipahami sebagai komunitas mahasiswa yang melakukan kegiatan di bidang jurnalistik, yang non-profit dan berdasar pada idealisme mahasiswa. Ada beberapa perubahaan setelah peristiwa reformasi 1998. Persma kini lebih sering membahas seputar permasalahan di kampus ketimbang membahas permasalahan nasional, tidak seperti yang terdahulu, diamana banyak Persma begitu kencang mempropagandakan tuntutan mahasiswa agar Soeharto turun dari kursi pemerintahan dan menolak dwi-fungsi ABRI.

Memasuki era digital saat ini pula, Persma mempunyai tantangan besar untuk mempertahankan posisinya sebagai bacaan penting bagi mahasiswa, terbukti dengan terbentuknya website persma.org sebagai kanal khusus lintas Universitas yang ada di Indonesia, agar mampu bersaing di bidang jurnalistik yang semakin lama dikuasai oleh media komersil lokal dan nasional.

Awak Pers Mahasiswa

Dalam UU No.21 tahun 1982 wartawan adalah karyawan, sedang dalam UU No.40 tahun 1999 wartawan adalah (bukan karyawan). Dari peratruran tersebut, terjadi perubahan dari sudut pandang orde baru yang menganggap wartawan sebagai orang yang hanya bekerja pada perusahaan pers, menuju ke era reformasi dimana wartawan tidak harus berstatus sebagai karyawan perusahaan pers.  Seorang yang mengirim artikel pada media massa secara berkelanjutan dapat diakui sebagai wartawan menurut UU No.40 thun 1999.

Menilik kondisi terkini, Persma tidak lagi dianggap sebagai laboratorium jurnalistik untuk masa percoban dan pembelajaran, Persma sudah lebih baik dan professional dalam kegiatannya. Mahasiswa yang mengirim tulisannya di Persma juga sudah layak disebut seorang wartawan sebab selain gagasannya yang bagus, juga disertai data yang cukup akurat di setiap tulisannya. Dibalik opini dan argumentasi ilmiah yang melekat, Persma masih dapat mengedepankan independensi dan idealismenya, terjauh dari kepentingan-kepentingan politik, korporasi dan borjuasi, dan itu lah yang membedakan dengan pers lainnya. Oleh karena itu, mahasiswa yang melakukan kegiatan jurnalisme tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan wartawan yang menulis di koran lokal maupun nasional.

Pada kenyatanya saat ini, media massa seperti koran dan majalah lebih menarik perhatian. Perlu diketahui, tidak sedikit mahasiswa yang mengirim tulisannya ke perusahaan pers komersil ketimbang ke pers mahasiswa yang ada di kampusnya. Perlu dicurigai atas kepentingan pers komersil yang menyediakan kolom khusus bagi mahasiswa itu adalah bagian dari strategi merebut pasar dan pengaruh. Karya tulis mahasiswa yang diterbitkan oleh media komersil akan tidak sepenuhnya bebas sebab setiap tulisan melalui proses penyeleksian yang ketat dan pastinya disesuaikan dengan selera perusahaan. Disamping itu, tulisan mahasiswa yang terbit di koran lokal atau nasional sering jadi tolak ukur kesuksesaan mahasiswa itu sendiri, selain mendapat honor (profit oriented) juga prestise yang lebih, ketimbang tulisannya yang terbit di sebuah pers kampus.

Digitalisasi Semakin Menjauhkan Bukan Memudahkan

Bukan berarti tidak setuju dengan proses digitalisasi, hanya saja harus dipertimbangkan dengan konteks saat ini. Data penelitian Programe International Student Assesment (PISA) tahun 2012 menunjukan Indonesia berada di urutan ke-60 dari 64 negara yang disurvei dalam minat membaca dan survei PIAAC tahun 2016 menjelaskan tanda buruk bagi orang dewasa di Indonesia yang mendapatkan skor kurang dari level 1 yaitu pencapaian yang paling bawah untuk kemampuan literasi.

Belum lama Majalah Horizon memilih untuk meninggalkan cara konvensional dan beralih ke bentuk digital. Majalah tersebut yang sebelumnya dijual dengan harga yang mahal, terjauh dari jangkauan kaum kelas menengah kebawah. Artinya, majalah sastra tersebut hanya bisa dibeli oleh orang yang mampu saja. Setelah memilih bentuk digital, semakin jauh saja majalah tersebut dari jangkauan kelas menengah kebawah sebab untuk membaca majalah tersebut dibutuhkan berbagai macam alat bantu untuk mengaksesnya seperti gadget yang canggih, akses internet dan pastinya keahlian menggunakan sebuah teknologi. Dengan begitu, bentuk digitalisasi hanya menjadi jurang antar kelas sosial yang ada.

Slogan Persma “dari mahasiswa oleh mahasiswa dan untuk mahasiswa” harus bisa sejalan dengan kepentingan dan kebutuhan rakyat, agar dapat dibaca khalayak, selain itu pers mahasiswa harus tetap menyugguhkan produknya secara masif baik yang berbentuk cetak maupun digital. Dalam strateginya Persma tidak harus meninggalkan bentuk cetakannya sebab Persma harus terus-terusan menyodorkan bacaan di tengah masyarakat yang sangat rendah tingkat minat baca dan literasi. Dengan demikian, pers mahasiswa tetap kokoh dalam mengedepankan idealismenya dan terus menjadi corong pergerakan dalam perjuangan mencerdaskan kehidupan bangsa. 
Read More

Pendahuluan, saat mengabadikan moment orang-orang di tepi jalan, aku bermaksud bisa menjadikan gambar tersebut sebagai pengantar menuju sisa-sisa ingatan kita masing-masing, melalui ekspresi, situasi dan kondisi orang lain. Mungkin saja diantara kita pernah menikmati hal yang serupa, seringnya kita diperhatikan oleh orang-orang dengan secangkir kenangannya, dan mereka rasakan sama seperti apa yang kita rasakan saat itu, lalu disangkut pautkan dengan pengalaman yang dapat menggandeng kerinduan dan kebahagiaan menuju ke seseorang lainnya, sendiri atau bersama..

intinya.. setiap foto yang terekam mempunyai arti bagi diri sendiri..kaitannya cuma bagaimana kita melihat dan menentukan.
lokasi Surakarta - Yogyakarta
Read More