Di dalam tulisan kali ini saya hendak menjelaskan isu sosial yang berkembang belakangan ini. Ya, mengenai penggusuran atau relokasi kantin humaniora. Siapa sih yang gak tau bonbin ? Nama populer dari kantin humaniora yang ada di Universitas Gadjah Mada sejak tahun 1987.  Yah, Bonbin adalah kantinnya hewan-hewan yang berfikir, tempat berkumpulnya mahasiswa dari berbagai Fakultas seperti FIB, FEB, F.Psikologi F. Filsafat Fisipol dan F.Hukum. Bonbin juga sering disebut kantin rakyat. Seperti yang kita ketahui bahwasanya Bonbin selalu ramai karena harga menunya yang murah-murah alias merakyat, jajanannya yang beragam, dan pelayannya juga ramah, santai dan gak baperan.

Penggunaan judul tulisan ini mungkin terlalu dini bagi saya, seorang mahasiswa baru yang kenal Bonbin belum lebih dari setengah tahun lamanya. Yah, Bonbin sudah seperti rumah sendiri bagi saya, saya kenal pedagang-pedagangnya, mulai dari ibu-ibu yang saya anggap seperti ibu sendiri, bapak-bapaknya seperti bapak sendiri,juga mas-mas dan mba-mbanya yang saya anggap seperti saudara sendiri.  Entah mengapa mereka selalu asik untuk diajak bicara seperti ayah di teras meja dengan secangkir kopinya, dan yang tidak kalah asiknya adalah masakan ibu kantin di Bonbin yang layaknya seperti masakan ibu sendiri di rumah. Kadang kala jika kelaparan datang, namun tidak ada uang di saku celana, entah betapa asiknya mereka itu selalu santai (easy going) untuk memberikan makan tanpa membayar pada saat itu juga, bisa dibayar kapan-kapan kalau ingat, dengan kata lain bisa ngutang.

Orang-orang yang sering makan dan minum (jus atau air putih) di Bonbin itu berasal dari Suku, Ras dan Agama (SARA) yang beragam, mulai dari buruh kasar, pegawai halus, mahasiswa hits (ugm cantik dan ganteng), bule-bule student-exchange, dosen biasa sampai Guru Besar pun ada, sering kali mereka berkunjung ke Bonbin sekedar untuk menyantap sarapan pagi, makan siang, dan makan malam. Yah, meski ada juga yang ke Bonbin gak makan, cuma sekedar nongkrong, cuap-cuap, sebar hoax, transfer ilmu, cuci mata, dakwah, ngerjain tugas, dan segala aktivitas lainya. Dengan itu, kita semua sepakat bahwa Bonbin adalah tempat yang sangat asiik untuk bercengkrama, tidak hanya untuk makan melainkan asiik buat ngeguyon, asiik buat diskusi, asiik buat baca, asiik untuk bermetamorfosa, pastinya asiik buat ngapain aja asalkan positif.

Mungkin di dua postingan akun Line Apakabarfib sebelumnya ( berjudul : Dialog Bersama Direktorat Aset "Relokasi BONBIN, Serius?” dan Bonbin Paan Tuch......?!?") sudah banyak membicarakan mengenai issue tersebut. Tulisan yang pertama lebih membahas tentang rencana dari direktorat untuk memindakan pedagang bonbin ke Lembah UGM dan bagaimana sikap dari Aliansi Mahasiswa, sedangkan tulisan kedua lebih menceritakan kisah-kisah Romantisme Bonbin sehingga dianggap sebagai kantin legenda oleh Mahasiswa dengan banyak sekali kenangan yang terkemas di dalamnya. Jadi, saya disini tidak akan menjelaskan lagi bagaimana detailnya mengenai Bonbin dan pengawalan issue penggusuran/relokasi ini.

Sore kemarin, Rabu pukul 4 sore (23/12/2015) saya bersama kawan-kawan LEM FIB berkesempatan untuk berdiskusi (lagi) dengan beberapa pedagang bonbin. Pertemuan kami dimulai dengan obrolan sejarah bonbin dengan Pak Tukino. Pak Tukino adalah mantan aktivis kaki lima yang turut menjadi saksi mata bagaimana pada tahun 1987 kantin ini dibentuk oleh Rektor Prof. Dr. Koesnadi Hardjosoemantri, S.H . Beliau juga ayah dari Mas Wisnu, salah satu pedagang bonbin hari ini yang berjualan pulsa, majalah, koran dan makanan makanan ringan.

Menurut penjelasan bpk. Tukino, dahulu dibangunnya Bonbin adalah salah satu rencana relokasi pedagang-pedagang kaki lima dari 9 titik lokasi di sekitar UGM yang di gagas oleh Pak Rektor Koes. Dari penjelasan beliau kita ketahui bahwa Bonbin adalah sebuah relokasi. Pertanyaan yang cukup menyentil dari Bapak Tukino adalah “Bagaimana bisa sebuah tempat hasil dari relokasi kini ingin direlokasi lagi?”.

Pada kesempatan kali ini, Pak Tukino juga menitipkan sebuah tulisan kepada kami. Tulisan yang ia tulis dengan spidol merah diatas selembar kertas putih ini berbentuk ajakan kepada seluruh civitas untuk tidak mendukung rencana relokasi kantin Bonbin. Berikut adalah salinan dari tulisan tersebut:

- Yang mengusik keberdaan Pedagang di Bonbin adalag tidak tahu Sejarah dan tidak menghargai Ekonomi Kerakyatan Bp. Prof. Dr. Koesnadi Hardjo Soemantri, S.H.

-Beliau tahu bagaimana menuntaskan kemiskinan / orang miskin / wong cilik, tanpa meninggalkan orang / Rakyat miskin.

- Kami di Bonbin FIB UGM, berharap Bapak2 dan Ibu2 di UGM tanpa terkecuali, berempati pada kami / Pedagang.

- Sudah sekian lama kami merintis pasaran dan sudah banyak berkorban.
------------------------------------------------------------------------------------
Pada tahun 1987 Prof. Dr. Koesnadi Hardjosoemantri, S.H. membangun Bonbin berlandaskan cita-cita dalam mewujudkan visi ekonomi kerakyatan. 28 tahun berlalu. Beda pemimpin, maka beda pula arah dan visinya. Rektorat dalam rangka mewujudkan cita-cita membangun kampus edukopolis-  yaitu kampus yang hijau dan segar  sehingga mendukung proses pembelajaran - berniat memindahkan 12 pedagang bonbin dari area Humaniora.

Dalam rangka menghijaukan kampus, bangunan bonbin yang "suram" perlu untuk dihilangkan dari lingkungan Humaniora. Apakah rencana relokasi saat ini adalah wujud dari ketidaksanggupan pihak UGM untuk melindungi nilai-nilai ekonomi kerakyatan di lingkungan kampus? Benarkah cita-cita menjadi kampus kerakyatan sudah usang jika dibandingkan obsesi untuk membangun kampus hijau?

Mari kita aktif bergerak untuk mengawal isu kerakyatan semacam ini. Kita kawal hingga nantinya sikap transparansi dan kerakyatan dari kampus Gadjah Mada akan terus dijunjung tinggi melalui komunikasi dua arah yang lebih baik kedepanya.

Maka dari itu mari kita adakan diskusi dan audiensi yang akan dihadiri oleh pedagang-pedagang Bonbin, jajaran rektorat, dan juga mahasiswa. Diskusi dan audiensi itu sendiri adalah wujud dari musyawarah yang merupakan asas kenegaraan kita. Maka marilah seluruh Mahasiswa Sosial Humaniora, Pedagang Bonbin sangat mengharapkan dukungan, bukan hanya sekedar pernyataan melainkan juga dukungan tataran praktis kalian. Sepertinya di titik ini keberpihakan jelas diperlukan. Karena yang kita perjuangkan bukan sekedar urusan perut dan makan, tapi nilai kerakyatan yang dulu terus coba Prof. Koes perjuangkan.

Tunggu waktunya ! Bersiaplah !
Make Yourself at Bonbin
#savebonbin. #renovasijanganrelokasi

Salam !
Syahdan, dan kawan-kawan Yuparrela(wan)




Read More