Beberapa minggu terakhir ini banyak berita mencuat perihal akan adanya eksekusi mati sepuluh narapidana kasus narkoba di indonesia, kasus yang menimbulkan kontroversi ini telah banyak ditentang oleh kalangan para pendukung hak asasi manusia baik di dalam negri maupun luar negri.. adanya peristiwa ini membuatku acuh tak acuh dan menimbulkan kegelisahan tersendiri. oleh karna itu, semakin kuat kegelisahanku semakin kuat pula ku ditarik untuk menuliskan apa yg ada di benak dan pikiranku. Eksekusi telah dilaksanakan pada Rabu 29 April 2015 pagi hari namun baru delapan saja yg telah dieksekusi, ada dua orang yg ditunda pelaksanaan eksekusinya, satu Marry Jane warga negara Filipina dan satunya lagi Sergei Arezky Atloui warga negara Prancis, keduanya memiliki kasus yg masih kontroversial, marry jane diesebut sebut segai korban human trafficking dan yang dari prancis masih ada pengajuan hukum yang dijalani. Tak bisa ku bayangkan apa yang mereka rasakan setelah mengetahui ajalnya di depan mata, mati di pagi hari setelah melihat matahari, mencium bau pagi terakhir dan terlelap di malam sehari sebelum eksekusi, benar-benar tak bisa kubayangkan apa yang mereka pikirkan.

Mungkin ini jalan yang terberat bagi seorang manusia yang memutuskan kematian manusia lain, sebab kematian itu di tangan Tuhan bukan di tangan manusia, tak bisa kubayangkan juga apa yang manusia itu rasakan mengenai keputusannya, itulah lah yang dialami oleh Presiden dan para Hakim yg membuat keputusan itu sendiri.
Rasa simpati dan empati mungkin telah banyak didapatkan kepada mereka para narapidana kasus narkoba yang telah di eksekusi. Namun, bagaimana dengan para korban dari narkoba itu tersendiri?
Sampai saat ini belum pernah kulihat media masa manapun mebahas kehidupan para korban dari narkoba yabg secara spesifik saat mereka menjadi korban yang diserang physocologisnya.

Sedikit ingin kubercerita perihal yang ada hubunganya dengan narkoba yang pernah kualami. Selembar puisi berjudul Ketika Dia Pergi kutulis beberpa tahun lalu untuk mengenang seseorang dari baris bait dan rimaku yang bercerita untuk saudara laki tua kedua yg ku punya yaitu abangku. Sudah lebih dari tiga tahun ia pergi begitu saja dengan sia-sia. Empat tahun yang lalu setahun sebelum kematianya tiba, dipagi Hari Raya Idul Fitri Ibu Bapaku mangajaku mengunjunginya untuk pertama kali, ia telah lama mengalami gejala schizophrenia gangguan kesehatan yg menyerang tubuh dan jiwanya, itu sebab dari narkoba yg kejam yg tak kenal persahabatan, dahulu aku tinggal di tengah kota jakarta, pergaulan yang keras telah kulewati dengan segala perinsip kebaikan yang di tanamkan seorang Nenek dan Kedua orang tua kepadaku. Aku dari keluarga yang utuh, namun aku adiku dan abangku lebih sering diurus neneku sebab kedua orang tuaku berprofesi sebagai pegawai negri, setiap harinya harus berangkat pagi dan pulang sore hingga malam hari, mungkin itu sebabnya dimana waktu mereka mencari uang telah merampas waktu mereka memberi kasih sayang dan perhatian. Tempat tinggalku dahulu di lingkungan yang majemuk dan padat penduduk. Dengan demikian, aku bisa bermain dengan siapa saja, tanpa membeda-bedakan apalagi memilah milih seorang teman. Begitu juga Abangku, aku sering lihat ia bergaul dengan siapa saja, mudah akrab dengan siapa saja, ia sungguh terlihat sebagai sosok yang rukun dan bersahabat. Sering kali Persahabatan yang kuat dengan temannya membuatku iri, iri dengan kedekatan yang mereka punya. Oleh karena itu, aku pun juga memperbanyak teman agar tak kalah dengannya.
Aku sering mendengar kabar negatif terhadap dirinya tentang pergaulan bebasnya. Aku pikir itu hanya issue saja, tapi ternyata itu benar, terbukti dari sahabatnya yang tertangkap oleh polisi karena kasus narkoba. Abangku lah yang menjadi target operasi penangkapan selanjutnya sebab ia disebut pula sebagai pecandu dan terkait kasus penangkapan sahabatnya lalu.

Aku denganya memang tak pernah akrab, sewaktu ku kecil aku sering di tindas olehnya dimanapun aku bertemu selalu saja aku ditempeleng dan disuru pulang tanpa sebab yang pasti, kalau aku tidak menurutinya akan dihajar habis-habisan aku olehnya. Sampai tumbuh besar aku pun muak atas perlakuan terhadapku, aku pun melawannya dan sering kali berkelahi sampai patah tanganku menjadi cacat dan menyebabkan luka di wajahnya yang berbekas disebelah mata dan pelipis alisnya. Sebagai adik aku menyesali perbuatanku, mungkin ini sebab aku berkawan dengan para preman hingga menjadikan diriku brutal dan penentang. Penyesalan juga terjadi olehnya, ia sering kali berkata kepadaku "Cukup gue aje yang ancur jangan sampe lu ancur juga!" Aku mengerti apa yang ia maksud, ia sering melarangku pergi kesana kemari, bergaul sembarangan dan pulang malam, ku sadar itu semata-mata untuk mencegah diriku dari pergaulan yang ia alami, dari situ kumenyadari seburuk buruknya dia, dia tetap abangku dan tak mengubah sedikitpun. sebenci-bencinya diriku terhadapnnya tetap tak dapat menyembunyikan sayangku kepada abangku. Aku pun punya prinsip bahwa senakalnya diriku aku bersumpah tak akan mendekati narkoba apalagi memakainya.

Penangkapan itu baru sebagian saja dari sahabatnya yang tertangkap, yang belum tertangkap pun masih pula memakainya sebab yang ku ketahui mereka tidak pernah berhenti memakainya sampai mereka merasa tenang dan senang itulah efek dari sifat zat adiktif yg membuat abangku dan sahabatnya menjadi pecandu. Neneku semakin tua dan sudah tidak sanggup lagi mengurisi kami, bahkan aku lah yang harus mengurusi neneku sampai ajal memanggilnya. Aku mulai menjadi dewasa karena kadaan bukan karena keinginan, diurus dan mengurus sudah menjadi siklus kehidupan yang wajib dijalani dan itu puls caraku untuk bertima kasih kepadanya yang telah mengurusiku sebagai pengganti kedua orangtuaku.
Perhatian yang aku dan saudara-saudariku dapatkan semakin berkurang setelah kematian neneku, dan pergaulan menjadi semakin dominan mempengaruhi hidup kami. Sebelum kematian neneku aku ingat pesannya untuk menyekolahkan aku di Pesantren namun aku menolaknya sewaktu lulus SD, dan saat-saat menjelang kelulusan SMP aku memutuskan untuk bersekolah di Pondok Pesantren di Banten untuk menjalani pesan terakhir yang masih kuingat.
Sebelum keberangkatanku ke Banten abangku sungguh terlihat aneh, ia sering kali diam tak pernah bicara sedikitpun, tak ada kata yang bisa di keluarkan dari mulutnya yang rapat dijahit kegelisahan, ia semakin sering temenung dan sering mendelikan matanya berkali kali, melihat dengan tatapan yg tajam kepada siapapun dan benda apapun yang dilihatnya, itu menimbulkan keheranan bagiku dan siapapun yang melihat dirinya. Di tengah malam ia sering terdiam lalu menangis, di siang hari ia sering senyum ramah, bahagia sendiri, lalu temenung kembali. Ibu dan Bapaku mengirimnya ke dokter untuk mengecek kesehatanya lalu ia disarankan untuk direhabilitasi. Kepergianku ke Banten bertepatan dengan kepergian ke tempat rehabilitasi dirinya di Tasikmalaya. Aku pergi ke Pesantren Banten untuk sekolah mengenyam pendidikan, namun ia pergi ke Pesantren Tasikmalaya untuk mengobati penyakitnya.

Setelah menigalnya neneku, keluargaku pindah ke kota Bekasi dan meninggalkan Jakarta yang meurutku sudah ternoda, dinodai oleh nahkoda pengedar narkoba, dengan senjata pembunuh masalnya yaitu tablet-tablet ekstasi, butiran-butiran sabu, dan lintingan ganja yang terus menyerang pemuda seperti aku dan abangku.
Satu persatu sahabatnya pergi ada yang tertangkap polisi dan ada yang melarikan diri dan itu sampai saat ini tak terlihat krmbali. Masa rehabilitasi sepertiga tahun di tasikmalaya sudah usai namun, sebulan kemudian ia kembali memakai narkoba kerena tidak kuat menahan godaan dan manahan kencanduaan. Ia sakit kembali mengigil menangis, menjerit, berteriak menahan sakitnya, aku tidak tahu apa yang ia rasakan dan di sekujur tubuh mana yang sakit ia keluhkan. Ketika liburan aku sering memerhatikan dan mengawasi dirinya, aku luluh dan mengubah diriku yang condong membenci mengarah ke rasa sayang dan peduli.

Liburanku usai, ia dikirim tempat rehabilitasi lagi, bukan lagi di Pesantren Tasikmalaya melainkan di utara Jakarta.Di hari raya Idul Fitri aku mengunjuginya, sudah hampir setahun ia di tempat itu, ia tampak kurus terlihat kurang gizi dan energi, di tempat itu banyak pemuda seumuranya dahulu dan seumuranku kini, mereka juga di rehabilitasi, mereka tidak hanya kehilangan energi namun lebih dari itu. Abangku sudah banyak kehilangan, kehilangan akalnya, kesadaranya, kebebasannya, kebahagiannya, kesehatanya, dan masa mudanya, di tempat yang terlihat seperti gudang tertutup itu yang ia dapati hanya memar, kesedihan, dan kesengsaraan. Aku hanya bisa menangis dan berdoa melihatnya kondisinya, kakinyaa di rantai bagai tahanan dibelenggu bagai binatang, rambutnya botak pelontos tidak rapi yg dicukur seadanya. Itu semua dialami oleh Abangku dan berikut para penghuninya, yang menjalani rehabilitasi di tempat yang seperti barak yang tak layak untuk dijadikan tempat penyembuhan kesehatan para pecandu narkoba. Aku sungguh terpukul melihat tatapan matanya yang luluh dihadapanku dan kedua orang tuaku, ia sering menginginkan pulang namun tidak pernah diizinkan, ingin sekali aku menuntut semua ini dan menyuarakan keadaan Abangku namun aku tidak tahu dimana dan kepada siapa aku harus menuntut, aku hanya bisa menuntut diriku sendiri untuk menjadi manusia yang lebih baik aku pula harus menjalani rehabilitasi hidup bukan karena narkoba seutuhnya namun karena kejahatan ibu kota dan nahkoda pengedar narkoba yang telah menghancurkan harapan semua orang tua kepada anaknya, Orang tuaku menangis dan memeluk abangku sebelum pulang pergi dari waktu jenguknya, ibuku berpesan kepada abangku "Kamu makan yang banyak yah nak, kamu yang rajin ibadahnya biar cepet sembuh biar cepet pulang, kamu yang sabar yah, sehat sehat disini mamah papah pulang dulu yah, kamu yang betah disini jangan nangis sering berdoa untuk kamu dan mamah papah, mamah pulang dulu yah" ibuku pergi dengan membawa rasa rindu yang amat kuat dan rasa percaya yang besar untuk kesembuhan abangku.Bapaku hanya bisa diam lalu mengurusi berkas dan biaya administrasi abangku kepada pihak pengelola.Dan aku, aku benar-benar tam bisa menahan diri untuk menangis, aku hanya meneteskan tiga air mata di depan gerbang besar besi tua penutup tempat itu, di perjalannan pulangku tiga air mata itu menetes kembali satu tetes adalah doaku untuk abangku dan dua tetes untuk kedua orang tuaku.

Mengenai sahabatnya dahulu, sudah sekian lama sahabatnya tak pernah kulihat wujudnya dan tak pernah kuterima kabar darinya apalagi mengunjungi abangku saat-saat sakit.aku pula tak tahu keadaan mereka setelah aman dari pengejaran polisi di masa melarikan diri, entah beranta dimana sahabat abangku berada, abangku sakit pun kurasa mungkin mereka tidak mengetahui, entah dimana persahabatan yang pernah ku irikan dan mereka gembor-gemborkan dahulu. Ku hanya melihat Ada uang ada persahabatan sebab baginya ada uang ada narkoba yang mereka bisa pakai, telan, suntik, hisap hingga mereka bakar, yang terpenting mereka bisa memanfaatkan teman yang mereka sebut sahabat.

Setahun sekian bulan abangku disana tidak membuat dirinya kembali sembuh, melainkan tambah sakit dan derita ia rasakan.. setiap pagi diguyur dengan sember air penuh air setiap malam dibangunkan, dipaksa mandi dan mengkaji, aku tak mengetahui apa yang mereka kaji sebenarnya. Abangki diperlakukan bukan seperti manusia normal yang terhomat dan bermartabat, aku mendengar hal itu terima tidak terima harus terima demi kesehatan abangku, namun yang pada awalnya kedua orang tuaku setuju tapi lama kelamaan setelah melihat keadaanya yang semakin memburuk tidak terurus, semakin parah sakit tubuh dan jiwanya.
Orang tuaku marah kepada pengurus tempat itu lalu membawanya pulang. Dirumah, gizinya bisa diperbaiki namun tidak pada kesehatan jiwanya. Pada suatu ketika abangku meriang, mengigil panas tinggi seperti panasnya menanak nasi, abangku dilarikan kerumah sakit. sekian minggu dirumah sakit ia tidak sadarkan diri. Saat bapaku menjenguku di pesantren mengabarkan hal itu semua kepadaku dan aku sekali lagi hanya bisa menangis dan berdoa untuk kesebuhanya, lebih sering aku mendirikan ibadah agar sehat abangku dan sabar kedua orangtuaku dalam menghadapinya.
Tibalah waktu kematianya, dijemputku oleh saudaraku untuk pulang kerumah.
Bendera kuning menghiasi sudut-sudut rumahku, kursi dan tenda terpasang dan aku tidak berkata apa-apa, masuk kedalam rumah lalu melihatnya ia terbaring di atas ranjang untuk satu orang, Aku membuka kain putih yang menutupi wajahnya untuk melihat jasad terakhirnya, aku tak bisa menangis aku hanya terdiam lalu membacakan doa untuknya, aku mulai menagis ketika ibuku memberitahuku sebelum ajalnya ia menyebut namaku aku belum tau mengapa ia sebut namaku sampai saat ini, aku hanya mengambil kesimpulan bahwa dia mengingatku tentang kesalahanku dan mengingatkanku untuk menjauhi narkoba, sebagai manusia aku menangis atas kepergianya, hati nurani mana yang bisa tidak peduli dengan saudaranya sendiri.


Ceritaku itu tidak sedikit pun kutulis dengan maksud untuk menjauhkan siapapun dari narkoba, namun dapat ditelaah lebih jauh lagi, bagaimana narkoba telah memutuskan persaudaraan dengan kematian, korban narkoba tidak hanya mengorbankan nyawanya namun mereka juga akan mengorbankan perasaan semua orang yang ia tinggalkan.
Begitu pula para narapidana yang telah di eksekusi, mereka mati tidak hanya meninggalkan jasad namun meninggalkan cerita yang berliku.
Mereka pun sudah ditembak mati dan Abangku juga telah mati, Manusia indonesia yang lainnya juga banyak yang mati. Kalau sudah mati, jadi, apalah yang harus diperdebatkan, orang mati adalah perkaranya orang hidup, orang mati sudah tidak mengurusi apa-apa yang ada di dunia, mereka hanya mengurusi perjalanan selanjutnya. Mereka hanya tinggal mempertanggung jawabkan apa yang mereka lakukan selama hidup di dunia, kita tidak mengetahui apakah mereka masuk surga ataukah neraka sebab hanya Tuhanlah yang berkhendak.

Akar masalah dari meluasnya peredaran narkoba di indonesia ternyata tidak hanya didorong oleh pengonsumsi yang banyak, tapi karena birokrasi yang sering disebut korup sehingga mudah sekali narkoba beredar di indonesia, polisi, hakim, dan jaksalah yang harus bertanggung jawab sebab merekalah yang menjamin keamanan, dengan membuat segala peraturan. Bpk. Presiden menurutku belum dikatakan sukses memberantas narkoba kalau hanya dengan mengeksekusi bandar dan pengedarnya saja, Bpk Presiden harus bisa membereskan birokrasi yang korup, yang sering dihina dinakan oleh rakyat yang menutut bersihnya pemerintahan, pengadilan, dan kepolisian sebab aku mengakui Bpk Presiden itu orang baik. Aku pernah mendengar sebab banyaknya carut marut kejahatan di dunia itu karena banyak diamnya orang-orang baik. Mereka tidak berani bertindak tegas menyuarakan kebenaran. Aku mengutip perkataan Bpk Gubernur Dki Jakarta yang dahulu sebagai wakil gubernurnya, "kalau orang sudah takut kehilangan jabatannya maka ia akan kehilangan keberaniannya".

Aku menulis ini tidak bermaksud untuk menyinggung siapapun, aku hanya ingin menuntaskan kegelisahanku, sekedar mengupas luka dengan tulisan. Kuharap luka kering ini tidak menimbulkan luka-luka lainnya.

Aku tak bisa memastikan akankah aku dapat terjauh dari narkoba sampai mati, sebab bagiku narkoba itu seperti ideologi, sekali lahir ia akan hidup abadi, tak akan mati dan akan menyerang siapa saja tak kenal usia, gender, jabatan, dan kekuasaaan.

Terimakasih telah membaca tulisanku ini.
Homatku, Syahdan
Read More